Friday, December 25, 2009

HEGEMONI KAPITALISME

RosiChin M.

Wajah kapitalisme bukan saja tampak di sudut-sudut kota, di sudut-sudut desa, di sudut-sudut kampus, di sudut-sudut permainan, sampai di sudut-sudut meja pun telah tampak. Wajah itu bertopeng industrialisasi yang terus mendesak wajah pertanian tradisional sehingga wajahnya mengecil dan napasnya terengah-engah tak bisa melawannya. Dominasi kapitalisme di ranah ekonomi terus bergolak, kadang tak lagi mengenal belas kasih, seringkali yang berkapital besar menusuk jantung yang berkapital kecil dan tak sedikit yang terkapar. Namun di lorong budaya, wajah dominasi kapitalisme yang bengis menindas berubah wajah bertopeng manis, demokratis dan tak terasa memaksa atas kehadirannya, itulah wajah hegemoni. Hegemoni yang diusung Gramsci terus melanda di tengah lapang kehidupan, dominasi pun menyingkir pelan. Kapital menjadi roh hegemoni yang menggerakkan aneka ragam relasi-relasi di tengah lapang kehidupan. Kapital di sini bukan saja harta, melainkan bisa tahta, wanita (kecantikan), kharisma, ilmu, adat istiadat, dan seambrek bendera ranah yang berkibar di alun-alun kehidupan.

Upacara keagamaan, upacara adat, upacara perkawinan, upacara melarung, seremoni sunatan dan seremoni lain sejenis sebagai amsal yang menjadi badan atau wadah roh hegemoni. Kehadirannya disambut gembira tiada memaksa, dan seremoni berjalan lancar tak tampak hadirnya hegemoni lantaran lebih melihat kehadiran wajah ideologi yang lebih utama dan menyemangatinya. Kehidupan manusia terasa sulit membuang warna warni dan kerlap kerlip kapital sebagai roh hegemoni, dan menyambutnya dengan senyum manis.



Selengkapnya...

Saturday, December 12, 2009

PROPOSISI RENUNGAN

Den Ros


Identitas Dibangun di Atas Kepentingan-kepentingan.
Satu Kata Punya Seribu Satu Makna Seribu Satu Rasa.
Nasib Manusia Dibangun di Atas Imajinasinya Sendiri.
Dalam Seribu Butir Obat yang Menyehatkan, Terselip Sebutir Obat yang Membahayakan.
Di Balik Indahnya Warna Pelangi Tersembunyi Warna Abu-abu yang Menjadikan Orang Termangu.
Sesekali Orang Perlu Menangis agar Memahami Makna Kehidupan.
Untuk Bisa Menulis Simbol Plus (+) Didahului Menulis Simbol Minus (-).
Kain Kafan Kain Pembatas Kekuasaan Manusia dengan Tuhan.
Batu Nisan Simbol Ketakberdayaan Manusia Melawan Kadar Kehidupannya Sendiri.


Selengkapnya...

Wednesday, October 21, 2009

MENGUBUR MITOS

Den Ros

Batu nisan Mitos telah berdiri di tengah alun-alun kehidupan rakyat. Hari Selasa 20 Oktober 2009 adalah hari yang mencatat sejarah dengan tinta emas, mencatat terkuburnya "Mitos Presiden Indonesia Turun di Tengah Jalan". Soekarno, Presiden Pertama RI turun di tengah jalan, bukan turun di akhir masa jabatannya. Soeharto sebagai Presiden RI berikutnya mengalami nasib yang sama dengan Soekarno. Kemudian Presiden RI Abdurrahman Wahid pun tak jauh beda jejak yang dijalaninya, sang Kyai Haji itu turun dari kursi Singgasana Presiden RI di tengah jalan. Peristiwa-peristiwa itu sebuah sejarah yang melahirkan mitos, Presiden RI selalu turun di tengah jalan. Mitos itu berjalan, menari dan bernyanyi di sudut-sudut desa dan kota seantero nusantara. Haruskah bangsa yang besar ini selalu membuat peristiwa turunnya sang Resi, sang Begawan, sang Presiden dengan tidak manis? Sungguh memilukan dan memprihatinkan bila terulang sepanjang hayat. Sang surya pun akan meneteskan air mata iba sepanjang sungai Nil.


Jam diding berdetak mengikuti jalannya waktu. Waktu telah melukis sebuah potret kehidupan yang indah, Presiden RI bernama SBY turun dengan manis sampai akhir masa jabatannya bersamaan dilantik kembali SBY menjadi Presiden RI 2009-2014 Selasa 20 Oktober 2009. Mitos itu pada hakikatnya terkubur bukan oleh SBY tapi Bangsa Indonesia yang mengubur mitos itu. Selamat untuk Bangsa Indonesia yang semakin cerdas, dewasa, santun dan bijaksana. Mudah-mudahan mitos itu terus terkubur, tak lagi bangkit dari kuburnya dan tertawa di tengah alun-alun kehidupan ibu pertiwi, sehingga bangsa dalam keadaan gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertaraharja, baldatun toyibatun warobun ghofur. Selain terus membangun bangsa yang dinamis, berkebudayaan dan berperadaban yang lebih baik dan mendunia.

Meski terbujur di bawah batu nisan Mitos itu masih bernapas. Tangan-tangan rakyat sendirilah yang pada hakikatnya mengubur dan membangkitkan mitos itu. Lantaran itu muncul petanyaan, sanggupkah tangan-tangan rakyat bergandeng tangan penuh kemesraan, terutama tangan agamawan, negarawan, ilmuwan, politikus dan kritikus serta mahasiswa agar napas mitos itu tak menitis dan berubah menjadi api yang akan membakar tangan rakyat yang memiliki segudang ambisi dan kepentingan untuk mencabik-cabik kemesraan itu di masa datang hingga mitos itu kembali tertawa? Waallahualam.

Selengkapnya...

Sunday, October 18, 2009

KOALISI PARTAI PERLU ?

Den Ros

Suatu partai dalam sejarah perjalanannya tak bisa lepas dari pasang surut atau fluktuatif, suatu waktu pasang / besar dan suatu waktu surut / kecil, tak ubahnya air laut. Keadaan itulah yg menjadikan lahirnya 1001 kiat atau strategi partai untuk bisa bertahan tetap besar dan tidak surut serta menghindari hanya tinggal sebuah nama. Kecil kemungkinan sebuah partai bisa bertahan lama kecuali semua orang dan partai menghendakinya. Filosof Yunani Heraklitos mengatakan sesuatu yang ada itu tak pernah tetap.



Contoh sejarah pasang surut kehidupan partai terlihat dalam perjalanan kehidupan partai PNI di era Orde Lama tampak besar/pasang; begitu juga Golkar ketika masa Orde Baru tampak besar/pasang. Tapi saat sang Begawan partai-partai tersebut lengser keparabon partai pun mengalami surut. Kini tampaknya partai berlambang pohon beringin menggeliat bangkit menguatkan kembali pilar-pilarnya, dan membayangi partai Demokrat (PD) yang lagi pasang. Kini sang Begawan PD duduk di kursi Singgasana, yang pada awalnya partai kecil. Bercermin pada perjalanan partai-partai di atas kiranya dapat dipahami eksistensi sebuah partai itu fluktuatif, dan fluktuatif itu sebuah keniscayaan. Oleh karena itu selagi sebuah partai pasang / besar jangan sampai melahirkan arogansi terhadap partai gurem atau yg lagi surut / kecil, lantaran yang kecil bisa jadi menjadi dewa penolong, dan tak ada yang langgeng, kurva lehidupan terus berjalan bersama mentari.

Partai gurem atau kecil pada dasarnya berdiri di persimpangan jalan, menghadapi dilema, jika berkoalisi dengan partai besar (pemenang pemilu), tak akan berarti dan termarjinalkan dikala mengambil suatu keputusan bersama. Oleh karenanya partai yang kalah dalam pemilu dan memiliki massa atau basis besar dan kuat kiranya lebih baik menjadi oposan (yang sebenarnya)jangan hanya oposan moral oposan yang separoh hati. Dengan menjadi oposan akan memiliki harga tawar tinggi sekaligus menjadi pengritik dan pengontrol jalannya roda pemerintahan yg dipegang partai pemenang pemilu agar tidak arogan dan terus berjalan dalam relnya. Bagi partai pemenang pemilu dan pemegang tapuk pemerintahan tampaknya lebih senang berkoalisi karena akan bisa lahir satu nyanyian, satu kata yang indah dan menguatkan pilar-pilar pemerintahannya, selain nyanyian dominasi bisa terus mengalun dan senyum hegemoni menusuk sukma.

Nyanyian Dominasi partai pemenang pemilu akan terus mengalun di sudut-sudut kebijakan dan alun-alun kehidupan. Tebaran senyum hegemoni pun menusuk sukma partai yang kalah hingga tak bisa lagi berkata-kata cuma anggukan kepala mengiyakan lantaran terjebak bermain cinta di kedai koalisi dengan menikmati segarnya secangkir kopi dan lezatnya secuil kue jabatan menteri/jabatan lain sedrajat. Pada hakikatnya kata koalisi sebuah kata yang lebih santun dari sebutan "politik dagang sapi", dan bagi partai yang mau berkoalisi berarti mengubur idealismenya sendiri.

Mengubur idealismenya sendiri bukan menjadi problem bagi si Kutu Loncat, si Petulang Politik lantaran nama dan seonggok jagung lebih dikedepankan dan lebih bisa menjamin dibanding idealismenya yang terus melayang-layang tak karuan. Mungkin malah Kutu loncat, Petualang Politik menjadi idealismenya yang akan membawa pencerahan dalam hidup dan kehidupan. Kutu Loncat, Petualang Politik sebuah proyeksi pepatah Jawa esuk dele sore tempe.


Selengkapnya...

Saturday, September 5, 2009

TAFSIR GURAU

elRos Ms.

Tafsir Gurau atau Tafsir Guyon merupakan sebuah tafsir yang mengurai makna kata atau kalimat secara tidak benar, mengurai makna secara gurauan/guyonan belaka.


Anggota Dewan : 1. anggota wakil rakyat pemilih, 2. anggota wakil rakyat penyuka.
Berjalan kaki : 1. bosan pakai mobil, 2. bosan pakai kendaraan.
Demontrasi : 1. latihan caci-maki orang, 2. tidak ada pekerjaan lain.
Mengemis : 1. buka pintu pahala orang lain, 2. beri peluang orang bersedekah.
Pembunuhan berencana : 1. kegiatan coba ketajaman senjata, 2. latihan berani berbuat.
Pemilu : 1. pesta bagi2 uang, 2. pesta jalan2, 3. pesta main tinta.
Pesawat terbang jatuh : 1. pilot asik melamun, 2. kekurangan bahan bakar.
Pungut puntung rokok : 1. kegiatan bersih2 jalan, 2. cinta tanah air.
Sepak bola : 1. arena adu penonton, 2. ajang kelahi.
Sepur tabrakan : 1. masinis mengantuk , 2. rem blong, 3. tidak ada jalan lain.


Cinta : 1. bayangan kesenangan hidup, 2. bayangan kesusahan hidup.
Pacaran : 1. masa saling tlaktir, 2. masa latihan bohong.
Perkawinan : 1. fase menuju perceraian, 2. fase menuju kematian.
Perceraian : 1. masa kebingungan, 2. masa menunggu pengganti.
Selingkuh : 1. masa bermain2, 2. masa selingan indah dalam hidup.
Poligami : 1. membandingkan jasmani rohani istri2nya, 2. membandingkan pelayanan istri2nya.
Poliandri : 1. membandingkan jasmani rohani suami2nya, 2. membandingkan pelayanan suami2nya.

Kampus : 1. tempat berbisnis, 2. tempat cari jodoh.
Sarjana : 1. suatu gelar pasaran, 2. gelar-gelaran.
Doktor : 1. suatu gelar keangkuhan, 2. gelar jasa jual beli kemampuan.
dokter : 1. gelar tukang jual kertas bermantra, 2. gelar tukang jual jarum suntik.
dukun : 1. gelar tukang jual setan, 2. gelar tukang jual air sumur.
Insinyur : 1. gelar tukang kayu, 2. gelar tukang batu.

hidup :1. masa cari-cari, 2. mata bisa lirak-lirik.
mati : 1. tidak bisa bernapas, 2. tidak bisa bergerak.


elRos menerima sumbangsih Tafsir Gurau Anda, dan yang layak akan dimasukkan Tafsir Gurau ini, Sumbangsih Anda menjadi hak milik elRos.
Sumbangsih Anda bisa diposkan lewat Pos Komentar.
Terima kasih sebelumnya atas sumbangsih Anda.







Selengkapnya...

Monday, August 31, 2009

ETIKA PERLU DIKEDEPANKAN

elRos Ms.

Etika selalu membingkai manusia, prilaku manusia menjadi sentral garapannya, lantaran itu manusia tidak bisa mengelaknya, etika pun terus menyertai disetiap lini kehidupan. Salah satu misal dalam dunia sosial politik. Dunia politik, dunia yang penuh seni, warna warni dan lika liku, itulah yang menjadi salah satu daya tarik setiap manusia ingin mengalami dan atau ikut bermain di dalamnya, baik dalam dunia wacana atau dunia politik praktis. Manusia pada hakikatnya memiliki fitrah politik, begitu tutur Lalu Lanang. Hal itu terlihat manusia yang hidup di atas bumi tak akan lepas kakinya dengan benang merah kekuasaan dan atau negara. Fitrah politik adalah baik, bukan suatu yang buruk, tabularasa meminjam istilah John Lock seorang tokoh empirisme, sehingga kehidupan politik akan tergantung manusianya, siapa yang menorehkan tintanya, selain kacamata yang dipakai seorang atau sekelompok orang dalam memandangnya. Politik akan menjadi merah, hijau, biru hitam dan atau warna yang lain bila tangan dan tinta yang digoreskan seperti warna yang ada, begitu juga kacamata yang dipakainya, lanjut Lalu Lanang.

Manusia yang memiliki fitrah politik itu akan menyintai dan menjaga negeri yang membesarkannya untuk selalu berdiri tegak di atas bumi. Hal itu bukan suatu keanehan, karena tiap manusia memiliki hak yang sama untuk itu begitu juga untuk mengemukakan pendapat, berkumpul dan berserikat dalam bingkai negeri yang membesarkannya. Dengan kata lain setiap orang memiliki kesempatan yang sama, tidak ada diskriminasi dalam kehidupan sebuah negara untuk berjuang dan berlomba meraih / menduduki kursi nomor satu dalam negerinya, kursi pimpinan lembaga negara, kursi menteri dan atau kursi Dewan dalam rangka mampertahankan kedaulatan negerinya. Asal perlu diingat dalam niai dan cara meraihnva tidak boleh menempuh jalan pintas tanpa mengindahkan rambu-rambu etika, tidak boleh menafikan etika politik atau menghalahalkan segala cara sebagaimana pemikiran Machiavelli. Tapi harus berpegang dan mengedepankan etika politik, begitulah lantunan Cut Alifia seorang dara cantik yang sedang meniti karier di dunia politik.

Machiavelli menggeliat bangun dan tertawa bangga dari kubumya lantaran pemikirannya yang "menghalalkan segala cara" dalam mencapai tujuan yang diinginkan, dewasa ini banyak yang sepaham, dan menjadi pijakan para politisi dalam meng-gol-kan ambisinya. Hal itu dapat dilihat banyaknya pemerkosaan, penculikan, dan pembunuhan hanya karena untuk mencapai keinginannya, begitulah kata Eza di sudut gang Damai, gang yang menjadi tongkrongan anak muda yang menyintai dan bermain catur politik.

Jeng Lela ikut menimpali, tampaknya sudah membudaya saling sikut, jatuh menjatuhkan dalam berebut kue poiitik dan duduk dikursi empuk. Kue politik sendiri pada dasarnya semua orang memiliki hak menikmatinya dan atau bermain. Membahas politik bukan hanya mereka yang duduk di kursi Dewan, elit politik, pakar politik. dan mahasiswa saja, melainkan kaum awam - maaf- apa itu yang namanya sais dokar, abang becak, sopir taksi, sopir bus, tukang kebun, penjual jamu gcndong dan tukang bakso pun tidak dilarang alias boleh untuk membahas, bermain catur politik, apa dalam arti wacana maupun politik praktis; dengan kata lain menjadi hak sesama warga untuk dapat menikmati tumpeng dan atau kue politik dengan mengacu pada etika politik di bumi Merah Putih.

Mengasikkan mcmang membahas dunia politik yang penuh intrik dan trik, apalagi di jaman keterbukaan rasanya tak terlintas rasa takut masuk jeruji besi / hotel prodeo yang dulu menjadi momok. Tapi walau di jaman keterbukaan, setiap orang perlu rasional dan bertanggung jawab dalam memilih dan memilah mana kue politik yang bisa disajikan untuk umum, kelompoknya dan atau hanya untuk dirinya sendiri. B H dan Celana Dalam misalnya, tak layak untuk disajikan dan dipamerkan di alun2 kehidupan yang dipadati halayak umum; sebaliknya lukisan2 yang penuh nilai2 moral kemanusian dan keilahian sangat perlu untuk disajikan di tengah lapang, ditaburkan di sudut-sudut kota dan desa agar dapat menjadi pelita hidup ditengah ke-plural-an, dan dapat mengubah lorong gelap menjadi lorong terang, serta meraih alam pencerahan.

Tak perlu heran bila ada seorang atau sckelompok orang yang tak peduli akan etika dalam menyajikan dan memamerkan sesuatu, yang pada dasarya sesuatu itu tidak pantas untuk disajikan terhadap halayak umum. Hal itu terjadi mungkin lantaran mereka dihiasi rasa sentimen, kebencian dan ingin memuaskan hatinya walau pada dasamya menjebak dan mcnohok dtrinya sendiri atau kelompoknya, hal itu yang pcrlu disayangkan. Dalam bermain sesuatu harus tahu benar aturan mainnya, dan tidak boleh hantam kromo begitulah lanjut Jeng Lela.

Tidak jarang dalam bemain catur politik si pemain cepat berubah pikiran dan sikapnya serta tindakannya secepat elang menyambar mangsanya; pagi menjadi kawan siang menjadi lawan, sore mcnyadi lawan malam menjadi kawan, malam keras pagi lunak, pagi keras malam lunak dan sejenisnva. Itulah sebuah seni dan pergulatan politik yang menarik dalam dunia politik. Yang penting dalam bermain sesuatu tidak boleh lepas dari etika permainan yang akan merugikan bahkan mengalirkan darah berceceran di tengah jalan, celetuk Gus Sar di samping Jeng, Lanang dan teman2nya yang lagi ikut bingung memikirkan perkembangan politik dewasa ini yang cacah rucah, carut marut dan tak ada kepastian.

Musyawarah untuk mufakat merupakan salah satu etika politik yang dapat dipegang dalam bermain politik di bumi Merah Putih. Namun politik dagang sapi, Eza menyebutnya politik kapitalisme mcrupakan sebuah etika yang tidak perlu dilestarikan bahkan menjadi tradisi karena hanya sebuah kompromi politik untuk kepentingan sesaat bagi perorangan atau kelompoknya yang ingin terus menikmati kelezatan kue politik dengan duduk di atas kepala derita rakyat, tangis rakyat; bukan untuk kcpentingan bangsa dan negara yang seharusnya ditempatkan berada di atasnya. Kompromi politik sendiri sah-sah saja adanya, tapi ccnderung untuk jatuh pada lubang yang sama. padahal hal itu tidak diinginkan semua orang, apalagi bila kepentingan bangsa dan negara diabaikan dan hanya mementingkan dirinya atau kelompoknya. Dunia akan menangis tercabik-cabik dan hancur berkeping-keping. Kita harus mengedapankan etika dalam meniti kehidupan agar mulus perjalanannya dan terhindar dari hal2 yang tidak diinginkan. Sang Utusan Muhammad Rosulullah bersabda: "Aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak". Menyempurnakan sebuah kata kerja yang berarti terus menerus berproses - menuju kesempurnaan - yang tidak mudah untuk diraih manusia. Namun tidak berarti tidak bisa diraih, perlu usaha ekstra untuk meraihnya; dan akhlak ini pun dalam arti multi dimensional, untuk segala titik dan garis kehidupan manusia, baik vertikal maupun horisontal. Untuk itulah manusia harus mengedepankan etika (akhlak) dalam segala lini kehidupan. Mereka yang menafikan etika maka tinggal mcnghitung hari dan akan jatuh di lubang gelap, kiranya Tuhan pun bosan menilai hambanya yang silau pada kehidupan duniawi semata, dan meninggalkan nilai2 kemanusiaan dan keilaliian, begitu kata Eza mengakhiri perbincangan dengan sobat2nya.

Selengkapnya...

Monday, August 3, 2009

UNTUK INDONESIAKU

Iing Fao

ANTARA ADA DAN TIADA


kemerdekaan sebuah kata
tlah lama melegenda
di tengah lautan jiwa
seusia manusia berada

wajahnya menjadi idola
stiap insan berjiwa
slalu meraba-raba
kapan kan menjelma

rembulan tersenyum iba
tatap tengadah jiwa-jiwa
keluh kesah menunggu lama
wajahnya menjelma
antara ada dan tiada.

1 Agustus 2009


MAAF


Maaf Gusti Pangeran
aku belum bisa khusuk sembahyang

Isro mi'roj 2009
Selengkapnya...

Saturday, July 18, 2009

KEKERASAN ITU MAKHLUK GENTAYANGAN


elRos Ms.

Bunga cinta kasih bertebaran di sudut kota, desa, kampus dan batu nisan. Berbarengan pula bertebaran bunga beracun yang sampe jatuh tergolek di atas bantal. Bunga beracun itu pun berubah menjadi tetes-tetes darah yang mengerikan. Bunga beracun itu adalah kekerasan. Kekerasan menjadi fenomena yang menarik karena kekerasan tak ubahnya makhluk gentayangan tak bertubuh yang terus berjalan mencari dan atau memakan korban.

Kebanyakan korbannya itu kaum hawa yang seringkali diberi label kaum lemah, dan tetes air mata menjadi senjatanya serta sikap pasrah selalu menyelimutinya. Untuk lepas dari incaran kebiadaban makhluk gentayangan yang lahir tercipta untuk mencabik-cabik hati nurani, dan merobek-robek bendera keluarga, kiranya kaum hawa harus menempa dirinya dengan belajar / berlatih beladiri. Beladiri apa pun, bisa yang berasal dari tanah ibu pertiwi "silat", atau hasil impor seperti karate, yudo, kungfu dll.

Memiliki kepandaian beladiri menjadikan kaum hawa bisa lebih percaya diri, tegar, tidak gampang dipermainkan dan dininabobokan serta berani menghadapi makhluk gentayangan yang datang silih berganti dan terus mengelayuti sukma. Makhluk gentayangan yang mengerikan itu bisa datang dari sudut meja atau sudut ranjang keluarga (RT) sendiri atau pohon besar di luar rumah. Selain itu kaum hawa pun perlu mengasah daya peka dan kekritisan pikiran agar tidak cepat menerima begitu saja fenomena atau peristiwa yang terjadi. Tawaran ini untuk semua kaum, dan khususnya kaum hawa setujukah ..........?


Selengkapnya...

Sunday, July 5, 2009

TENTUKAN FOKUS

elRos Ms.

Untuk
Sobat yang ingin bolamatanya lebih indah, dan
peka terhadap fenomena kehidupan,
tataplah titik hitam yang terus bergerak
di antara garis putih vertikal dan horisontal dalam kotak hitam.


Berkait suatu fenomena dan atau problem
yang muncul silih berganti dalam kehidupan,
manakala Sobat telah mampu menentukan keberadaan titik
berarti Sobat telah mampu menentukan fokus masalahnya, dan
Sobat akan mudah mengatasinya.


Kotak hitam ini bisa menjadi area kecil kehidupan
untuk membaca / meneliti area kehidupan yang lebih besar
InsaAllah



Kepekaan akan fenomena kehidupan menjadi suatu yang penting untuk dimiliki seorang insan. Dengan kepekaan itu seorang akan bisa memahami, mengkritisi, dan menyikapi kehidupan yang terus berjalan bersama mentari dan rembulan, sehingga bisa menghindari kejamnya kehidupan dan
bisa bercinta dengan indahnya kehidupan.


Print this post

Selengkapnya...

Monday, June 15, 2009

" ? " ADA DI MANA-MANA

elRos Ms.

Tanda tanya ada di mana-mana, kadang tampak kadang sembunyi di balik sesuatu, kadang berhenti kadang berlari entah ke mana. Tanda tanya mengundang orang ingin mencari jawab, lantas berpikir. Siapa berpikir berarti dia ada; kata Descartes cogito ergo sum. Tiada sia-sia orang melihat tanda tanya, dan mau berpikir untuk mencari kebenaran.

Tanda tanya, tanda tanya lagi, tanda tanya banyak sekali terpampang, kata Dini lirih. Tanda tanya memang ada banyak, mungkin yang Dini lihat masih bisa dihitung dengan jari, padahal banyak tanda tanya yang masih tersembunyi, timpal Rosi. Bunga pun ikut bertutur di tanah, air, api dan udara ada tanda tanya; di tubuh manusia, hewan dan pohon ada tanda tanya, pada gelap atau terang, pada sesuatu yang diam atau gerak, pada sesuatu yang materi atau non materi, yang tampak atau tidak tampak ada tanda tanya, singkatnya tanda tanya ada di mana-mana, ada pada sesuatu yang terikat oleh ruang dan waktu atau pun yang tidak. Tanda tanya sebuah tanda yang mengundang orang untuk berpikir, memahami, dan menjawab meski menjawabnya tidak harus dieksplisitkan, dan paling tidak mencari jawab tentang apa, bagaimana dan mengapanya; lebih dari itu untuk mencari jawab dibalik "yang ada" sampai dapat menemukan esensi atau substansinya.

Esensi atau substansi sesuatu memang sangat diperlukan diketahui dan dimengerti sehingga akan dapat menemukan kebenaran sesuatu, dan tidak ada lagi keraguan muncul dalam benak setiap insan pencari kebenaran. Tapi tidak mudah untuk menemukan substansi sesuatu, dan tanda tanya pun terus muncul sebelum mencapainya. Aristoteles filosof Yunani memberikan jalan untuk mecapai substansi melalui abstraksi, membuang lebih dahulu aksidensia-aksidensia yang menempel pada sesuatu, baru akan mencapai substansinya. Sesuatu yang substansi atau esensi inilah yang selalu ingin diketahui sang pencari yakni manusia.

Manusia yang pada fitrahnya ingin tahu tentang sesuatu yang ada, sehingga wajarlah manakala manusia ingin mencari jawab sesuatu yang ada, baik dalam isi dan bentuknya yang bendawi atau non bendawi. Mencari jawab berarti berfikir, berfikir berarti ada. Misalnya mencari jawab tentang orang bercelana, orang bersarung, orang berdasi atau yang lain. Tak mudah mencari jawabnya karena tak setiap orang selalu sama dalam jawabannya. Perbedaan jawaban dapat terjadi karena dipengaruhi latar kehidupan, pengetahuan, pengalaman, wawasan, pola pikir yang dimiliki dan faktor lain seperti sudut pandang / kacamata yang dipakai.

Perbedaan akan sesuatu harus diakui adanya dalam kehidupan tapi jangan menjadi embrio atau pun pemicu ketegangan / konflik, melainkan menjadi sebuah kekayaan dan hikmah serta menjadi indikasi ketidaksempurnaan manusia. Oleh karena itu tidak layak seorang manusia bersikap arogan atau egois. Sikap tersebut pun bertentangan dengan nurani manusia yang cenderung ingin selalu dalam kebaikan dan kebenaran; cukup Bunga tak perlu diperpanjang, sergah Anis; aku tahu kau akan mengatakan bahwa perbedaan suatu kenyataan yang ada, kebaikan dan kebenaran perlu dicari, dan menjadi parameter manusia dalam hidup dan kehidupan. Tapi kebaikan dan kebenaran itu sesuatu yang relatif, berbicara masalah Tuhan saja sesuatu yang relatif sepanjang masih dalam bingkai hasil pemikiran atau tafsiran manusia, meskipun kitab suci yang ditafsiri, timpal Rosi pada Anis. Kerelativan dalam kehidupan terus mengalir, panta rei sambung Lela.

Bahasan relativitas bukan barang baru, abad 4 SM Sofisme telah mengibarkan bendera kerelativan; manusia menjadi ukuran segala-galanya. Ruang dan waktu menjadi saksi bisu bahwa sesuatu kebaikan atau kebenaran hasil pikir manusia akan tumbang atau lestari, dan sejarah akan mencatatnya sambung Rosi. Teman-teman sudahlah kita bicara yang kesinian dan kekinian saja yang dekat dengan Tanda Tanya, sergah Dini; misalnya tanda tanya tentang apa makna gelar-gelar yang menempel pada nama seorang dan dijejer atau dipamerkan, baik gelar akademik, gelar keturunan, atau gelar penghargaan serta sebutan gelar lain yang lama atau yang baru ada.

Gelar-gelar yang dipamerkan seseorang baik yang ditaruh di depan atau di belakang namanya, mungkin agar orang lain tahu kalau ia memiliki gelar dan akan menghargainya, tutur Wulan. Gelar dipasang bisa jadi untuk gagah-gagahan, namun jika pola pikir dan prilakunya tak sepadan dengan gelar yang disandangnya, malah bisa timbul tanya atas kualitasnya, kata Bunga. Buat apa pasang gelar tapi jadi bahan tertawaan, lebih baik tak pakai gelar tapi punya pola pikir yang bagus dan karya yang berkualitas serta bermanfaat bagi semua pihak. Mari kita membuat sejarah hidup sendiri dengan isi warna-warni kualitas terbaik, kata Sari dalam mengakhiri diskusinya.


Selengkapnya...

Tuesday, June 9, 2009

KUNCI PILIH PRESIDEN Antara Kelakar dan Berakar


elRos Ms.

Kunci pilih Presiden yang paling sederhana; hasil reduksi bincang2 orang2 awam politik antara kelakar dan berakar di lorong waktu rona mentari.



Sarinem penjual jamu gendong yang cantik manis menawarkan dagangannya ke komunitas pengojek "Dame". Bejo pengojek yang masih muda langsung minta, nem aku beras kencur; Suryo pengojek yang ganteng pun menyela, nem aku kunir asem. Tak berselang lama Inem pun memenuhi permintaan kedua pengojek. Sambil menyodorkan jamunya, Inem berkata: mas Suryo aku punya kunci pilih Presiden, tidak perlu bingung untuk pilih Presiden mendatang. Suryo pun tanya: apa Nem kuncinya. Gampang banget Yo, lihat visi, misi dan program2 yang disodorkan. Lihat program apa saja, untuk : 1) 100 hari pertama, 100 hari ke dua, dan 100 hari ke tiga setelah disumpah, 2) jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Pokok2 isi programnya tidak boleh tidak, 1) memajukan bangsa dan negara RI tercinta, 2) meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, Seru Inem.

Nem sela Bejo, yang penting menurutku, Kalau sudah jadi Presiden, Presiden harus dekat dengan Tuhan YME dan cinta/dekat seluruh rakyat, jangan dekatnya cuma pada kelompok/rakyat tertentu, dan mau menanggalkan baju partainya dan atau baju2 lainnya, serta harus ihlas berganti mengenakan baju merah putih dengan gagah berani. Kalau saya celetuk Suryo: Calon Presiden harus bersedia menandatangani kontrak sosial politik yang disaksikan wakil2 rakyat yang benar2 wakil rakyat, jangan wakil rakyat instan. Isinya, 1) Pendidikan gratis, dan 2) pengobatan gratis. Kontrak sosial politik ini menjadi dasar evaluasi pelaksanaan program Presiden terpilih; Jika Presiden menyimpang, melanggar dan atau tidak melaksanakan kontrak sosial politik tersebut, Presiden bisa diturunkan dari jabatannnya, selain bisa diturunkan berdasar Undang-undang yang berlaku. Bejo menimpali, Kontrak sosial politik harus dilakukan para calon Presiden dengan rakyatnya dan di iyakan ke dua belah pihak, dan kontrak sosial politik secara otomatis tidak berlaku lagi bagi calon Presiden yang tidak terpilih menjadi Presiden.

Kalau serba gratis, khususnya pendidikan Yo, aku mau sekolah lagi agar aku tambah smart, dan kelak bisa ikut berkompetisi dalam pemilihan Presiden, kelakar Inem sambil melangkah pergi.

Selengkapnya...

Wednesday, March 4, 2009

TUHAN SEMBUNYI DI BALIK KATA


Rosichin M.

Suatu kata/teks tak terlepas dari makna. Kata cendekia pun tak terlepas dari makna. Satu kata/teks bisa jadi memiliki 1001 makna. Lebih dari itu pada hakikatnya Tuhan sembunyi di balik kata/teks. Tulisan ini Suatu Pengantar Populer Pembelajaran Bahasa dan Sastra Media Membentuk Insan Cendekia

A. Pendahulu

Insan cendekia, suatu makom kehidupan manusia. Untuk meraihnya tidaklah mudah, harus melewati jalan terjal berliku, naik turun, dan duri-duri pun menghadang kuat sekuat tembok cina. Kadang harus berhenti sejenak tatkala menemui persimpangan jalan, kemana arah harus melangkah, salah arah melangkah hanya kehampaan yang akan diraihnya. Begitu sulit menggaipainya sesulit menggapai matahari ketika makom insan cendikia hanya sebuah konsep yang ada di dunia maya atau ide yang masih tersimpan di almari laughmahfudz. Untuk itulah kiranya perlu ada kriteria atau parameter yang jelas tentang insan cendekia, yang dapat menjadi arahan setiap insan guna menggapai makom. Sepanjang belum ada kriteria konkrit, mimpi menggapainya menjadi bunga yang terus mekar dan tak pernah layu, insan cendekia hanya sebuah deretan kata-kata.tanpa makna.

F. de Saussure mengatakan bahwa kata adalah bunyi atau coretan ditambah suatu makna. Makna tidak dapat dilepaskan dari kata (Bertens, 1996:180). Merujuk pada pemikiran Saussure, kata insan cendekia bukan sekedar deretan kata-kata tanpa makna tapi kata-kata yang memiliki makna; dan pada hakikatnya Tuhan sembunyi di balik kata (teks). Jika maknanya belum terkuak, belum keluar dari gua persembunyiannya maka perlu dikorek atau digali sedalam mungkin dengan penuh kesungguhan, sampai menemukan gambaran warna warni makna-makna yang tersembunyi. Gambaran makna yang warna warni itu pada gilirannya dianalisis dan direduksi menjadi kriteria potret insan cendekia. Teropong sederhana untuk melihat potret insan cendekia (= cendekiawan) telah lama terpajang di lembaran Kamus Besar Bahasa Indenesia, Cendekiawan yaitu 1. orang cerdik pandai; orang intelek; 2. orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu (Depdikbud, 1989:161). Berangkat dari arti kamus di atas dan sepakat diangkat menjadi kriteria, kiranya bukan lagi sebuah mimpi, makom insan cendikia bisa digapai, digapai lewat suatu proses dan piranti.

Piranti dan proses diperlukan insan untuk mencapai tujuan. Tuhan pun memerlukan suatu proses dalam menurunkan firman-firman (tertentu). FirmanNya diturunkan untuk hambaNya dengan kemasan bahasa dan atau kata-kata yang memiliki nilai estetika di luar batas kreativitas sastrawi insani. Malaikat Jibril menjadi jembatan penghubung dalam menurunkan firmanNya pada utusanNya agar bisa diterima, dipahami lantaran dimensiNya berbeda dengan dimensi manusia. Selain itu Jibril sang penabuh awal genderang Iqra untuk mencerdaskan manusia yang berkebudayaan dan berperadaban dengan bingkai keilahian, serta hijrah dari kegelapan menuju sinar terang. Hal di atas kiranya dapat menjadi suatu pelajaran amat berharga bagi setiap insan dalam mengarungi hidup, dan menjadi cermin elok untuk pelaksanaan pendidikan / pembelajaran.

B. Konstruktivisme sebuah Model

Kontruktivisme suatu aliran filsafat yang dipinjam dunia pendidikan, yang kini benderanya berkibar di sudut-sudut sekolah mengusung model pendidikan / pembelajaran. Pengetahuan yang diperoleh seseorang itu hasil konstruksi sendiri menjadi salah satu latar depan kelahiran model pendidikan / pembelajaran konstruktivisme, Konstrktivisme menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang kepada orang lain bahkan secara prinsipiil. Tidak mungkinlah menstranfer pengetahuan karena setiap orang membangun pengetahuan pada dirinya. Pengetahuan bukanlah sutu barang yang dapat ditranfer begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan ke pemikiran orang lain yang belum mempunyai pengetahuan. Bahkan bila seorang guru bermaksud menstranfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada seorang murid, pemindahan itu harus diinterpretasi kan dan dikonstruksikan oleh si murid lewat pengalamannya (Suparno, 2008:20). Tranfer pengetahuan tidaklah akan terjadi lantaran pengetahuan itu dikontruksi oleh diri sendiri. Interpretasi menjadi termin yang harus dilalui lebih dulu dengan diramu pengalaman untuk memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan.

Bendera pemodelan pendidikan/pembelajaran kontruktivisme terus berkibar seperti berkibarnya bendera-bendera partai politik yang berkibar di sudut-sudut kota menyuarakan visi dan misinya untuk menarik simpatik. Model pendidikan/ pembelajaran Konstruktivisme yang mengusung keaktifan murid dan mengontruksi sendiri pengetahuan, kiranya relevan untuk berkibar di sebuah ruang pembelajaran bahasa dan sastra guna melahirkan insan yang aktif dan kreatif membentuk pengetahuan sendiri dan mengembangkannya. Sehingga dapat memotivasi insan-insan yang bergelut di ruang bahasa, khususnya ruang sastra yang sedang lesu darah. Menurut Julius Felicianus, Direktur Galang Press, kelesuan sastra Indonesia bukan bersumber hanya dari masalah ketiadaan penulis sastra atau kurangnya minat baca semata, tetapi juga terpengaruh oleh situasi politik, ekonomi dan sosial di Indonesia (Andriana, 2008:2). Kelesuan sastra Indonesia bukan saja disebabkan faktor-faktor sebagaimana yang dikatakan Julius, tetapi bisa jadi belum sampainya sentuhan di batas keefektivan dan kemenarikan dalam proses pembelajaran sastra dan bahasa, sehingga tidak memacu untuk lahirnya pemikiran kritis yang dapat memunculkan wacana-wacana baru dalam ruang bahasa dan sastra, dan kreatiftas yang melahirkan karya-karya sastra yang baru dan berbobot. Tampaknya model pendidikan/pembelajaran kontruktivisme menjadi obat penghilang lesu darah bahasa dan sastra yang berdosis pas.

Model pembelajaran kontruktivisme bukan saja menjadi obat penghilang lesu darah, tetapi juga dapat menjadi piranti dalam membentuk insan cendekia lantaran pembelajarannya membawa anak didik aktif, kritis dan mengonstruksi sendiri pengetahuannya. Menurut kontrukrivisme, belajar merupakan prsoses mengontruksi arti entah teks, dialog, pengetahuan fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan (Suparno, 2008: 61). Sehingga dengan model pembelajaran konstruktivisme anak didik akan terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui dan memahami teks-teks yang ada serta mengonstruk pengetahuan.

C. Bahasa dan Sastra suatu Teks

Bahasa seringkali disebut sebagai alat komunikasi, tapi juga sebagai alat berbicara kepada diri sendiri dan orang lain, serta merupakan alat berbicara ihwal masa silam, kini, dan masa depan,.dan berpikir pun melalui bahasa (Alwasilah, 2008:146). Belajar bahasa menjadi sesuatu yang penting lantaran merupakan alat komunikasi, berbicara, dan mengatakan pikiran, lebih dari itu bahasa itu alat mengekspresikan perarasaan. Pendidikan bahasa pun perlu mengajarkan berpikir kritis agar tidak terjadi bias dalam mengatakan pikiran, dan dapat menganalisis atau menafsirkan teks-teks yang pada gilirannya melahirkan karya-karya yang memperkaya khasanah kebahasaan. Kekeliruan dalam pembelajaran bahasa yang mungkin pernah terjadi sebagai luka lama tak perlu dibuka kembali. Menurut Alwasilah: kekeliruan selama ini adalah terlampau berkonsentrasi pada pengajaran empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) yang tercerabut dari fungsi bahasa sebagai alat berfikir. Seyogyanya pendidikan bahasa diniati sebagai upaya pembangunan literasi kritis, yang mencakup sikap dan keterampilan kritis dan analitis yang diperlukan untuk memahami dan menginterpretasi teks-teks (Alwasilah, 2008:148-149). Jatuh dua kali dilubang yang sama menjadi tanda kekeliruan atau kebodohon masih berdiri dalam kerangkeng bahasa, pendidikan berpikir kritis belum mampu menggeser posisi apalagi mengeluarkan dari kungkungan bahasa. .

Berpikir kritis sangat diperlukan untuk dapat memaknai atau menafsiri teks-teks (dalam arti luas), termasuk sastra sebagai teks. Sastra diidentikan dengan karya imajinatif yang lekat dengan kata-kata indah. Namun belum cukup suatu karya sastra yang hanya berdasar nilai estetika akan dapat membentuk insan cendekia, lebih dari tampaknya perlu nilai etika religi (kemanusiaan). Dalam konteks nilai, sepanjang karya sastra nihil dari nilai kemanusiaan, karya sastra itu kering lantaran tidak memiliki dampak positif untuk kehidupan manusia padahal suatu karya sastra diperuntukan manusia yang berdiri, berlari dan menari di atas bumi, untuk bisa manusia kedepannya lebih berbudaya dan beradab, bukan untuk para bidadari di kayangan atau malaikat penjaga sorga dan neraka. Bila manusia telah lebih berbudaya dan beradab, serta memahami benar dirinya lewat teks-teks yang ada, manusia akan meamhami Tuhan ada di balik kata (teks), Tuhan Maha Indah.

Kutahu setan mengintip di sudut sana, kan menjebakku malu, kutak perlu lagi panjangkan kata, cukup berhenti di sini. Wassalam.


DAFTAR PUSTAKA

Andriana, Maria D. 2008. Kebangkitan Sastra Perlu untuk Lembutkan Budi Pekerti. http://www.antara.co.id/arc/2008/10/29/kebangkitan-sastra-perlu-untuk-lembutkan-budi-pekerti/ (18 Des 2008 ).
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Bertens, K. 1996. Filsafat Barat Abad XX Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai pustaka.
Suparno, Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.


Selengkapnya...

Tuesday, January 20, 2009

KEBUDAYAAN SEBUAH PIRANTI KEHIDUPAN

Rosichin M.


Kebudayaan akan terus eksis selama manusia ada. Manusia tidak bisa tidak dalam hidupnya terus bergumul dengan kebudayaan, karena kebudayaan menjadi bagian dari hidup manusia. Kebudayaan menjadi piranti guna dapat melangsungkan hidupnya, dan piranti pemecah problem yang terus membayangi dan membelenggunya. Kebudayaan sebuah piranti yang sangat dibutuhkan manusia dalam memudahkan hidup dan untuk menjadikan manusia yang berbudaya dan beradab, tapi bukan membawanya menuhankan kebudayaan.


A. Pendahulu

Kebudayaan akan terus eksis selama manusia ada. Manusia sang pencipta kebudayaan sekaligus pengguna dan pelestarinya. Manusia sebagai pencipta kebudayaan, melalui budi dan daya yang dimiliki manusia mencipta suatu karya yang memiliki nilai insani. Manusia sebagai pengguna, manusia menggunakan kebudayaan menjadi piranti pemenuhan kebutuhan, dan pemecah problema yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Manusia sebagai pelestari kebudayaan, manusia yang menjadi pencipta dan pengguna dituntut untuk terus membina, menjaga dan menumbuhkembangkannya sepanjang zaman. Itulah kedudukan berharga manusia dalam kebudayaan.
Kedudukan berharga manusia dalam kebudayaan tersebut belum dipahami kebanyakan manusia sendiri, begitu juga wujud kebudayaan belum dipahami sebagian besar manusia, padahal bila dicermati khususnya wujud kebudayaan telah berceceran dibanyak segi kehidupan lewat nilai-nilai insani yang menjadi sarana pemenuhan kebutuhan manusia dan yang dapat memanusiakan dirinya, dan memanusiakan manusia serta menjadikan manusia sebagai insan yang berbudaya dan beradab.

B. Arti dan Wujud Kebudayaan

Kebudayaan lahir dan hidup bersama masyarakat manusia, masyarakat menjadi wadahnya dan manusia yang melahirkannya. Masyarakat dalam perjalanan hidupnya tidak dapat dilepaskan dari berbagai kompleksitas aktifitas yang harus dilakukan dengan mengacu pada dasar, norma, aturan dan adat kebiasaan yang berlaku. Aneka karya pikiran, hasil aktifitas manusia yang berdasarkan budinya itu dinamakan kebudayaan. Sebagaimana dituturkan Kroeber dan Clyde Kluckhon dalam Notowidagdo (1997:25), kebudayaan adalah keseluruhan hasil perbuatan manusia yang bersumber dari kemauan, pikiran dan perasaannya. Bakker (1994: 22) mengemukakan kebudayaan adalah penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani. Gazalba (!973:59) berpendapat, kebudayaan ialah cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu. Berkiblat dari pemikiran di atas dapat diambil simpulan bahwa kebudayaan (dalam arti luas) adalah hasil budi manusia yang bersumber dari cipta, rasa dan karsanya dalam suatu ruang dan waktu; kebudayaan (dalam arti sempit) adalah hasil budi manusia yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. Dengan demikian kebudayaan pada dasarnya sangat kompleks karena bukan hanya terbatas pada hasil budi sekelompok sosial manusia yang menempati ruang/tempat tertentu dan atau hasil karya seni pisik/bendawi yang hanya dapat diindera seperti: seni pahat, lukisan, tarian, pakaian atau bangunan khas (suatu daerah), tetapi lebih dari itu kompleks ide/gagasan, adat kebiasaan, norma, kepercayaan, dan nilai-nilai insani yang lain dalam kehidupan masuk dalam lingkaran kebudayaan. Sutan Takdir Alisyahbana (Gazalba, 1973: 61) mengatakan: kebudayaan adalah konfigurasi nilai atau susunan nilai: nilai ilmu, ekonomi, solidaritas, agama, seni, dan kekuasaan. Nilai-nilai insani yang ada dalam kehidupan itu memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola/gaya/cara hidup manusia, dengan kata lain pola rasa, pola pikir dan cara hidup manusia akan sangat terpengaruh oleh nilai-nilai yang ada dan tumbuhkembang dalam masyarakat. Namun tidak dapat dipersalahkan bila ada orang yang mengartikan kebudayaan sebatas hasil karya (seni) manusia sebagai kelompok masyarakat tertentu yang betwujud lahiriah/ eksplisit, kebudyaan di sini diletakkan pada definisi yang sempit bukan kebudayaan diletakkan dalam arti yang luas.

Kebudayaan yang dihasilkan sekelompok masyarakat yang secara garis besar berwujud kompleks gagasan, norma, adat kebiasaan, kepecayaan, dan nilai insani yang lain digolongkan masuk kebudyaaan rohaniah/implisit, dan wujud kompleks prilaku/perbuatan dan benda seni pisik karya manusia digolongkan masuk dalam kebudayaan lahiriah/ekplisit. S. Nasution (1995: 62) menuturkan: Wujud kebudayaan ada 2 macam: (1) kebudayaan ekplisit, dan (2) kebudayaan implisit. Kebudayaan rohani/implisit bersifat abstrak karena berpusat di otak, tidak dapat diraba dan diamati indera manusia, dan kebudayaan lahiriah/eksplisit bersifat konkrit karena bisa diamati dan diraba manusia. Kedua wujud kebudayaan tersebut memiliki saling keterkaitan dan atau ketergantungan satu dengan yang lain. Kedua wujud kebudayaan itu pun selalu berkembang dalam masyarakat yang mana masyarakat sendiri juga menjadi produsen dan konsumen kebudayaan.

C. Unsur-unsur Kebudayaan

Kebudayaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat manusia tidak dapat lepas dari unsur-unsur kebudayaan yang melahirkannya. Malinowski dalam Munandar (1998:13) menuturkan, unsur-unsur besar kebudayaan yang bersifat universal sebagai berikut: (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem mata pencaharian, (4) organisasi sosial,. (5) sistem pengetahuan, (6) kesenian, (7) Religi.
Bahasa merupakan alat komunikasi antarsubyek yang dapat mempermudah dan memperingan dalam kehidupan manusia. Bahasa pun merupakan lambang atau simbol yang dapat menjadi cermin kognisi dan afeksi manusia. Ilmu pengetahuan diartikan aktifitas pengkonsepsian fenomena-fenomena alam dan prilaku kehidupan manusia yang diracik dengan suatu metode. Teknologi yang merupakan tahapan penerapan ilmu pengetahuan yang terus berkembang menuju kecanggihan. Sistem ekonomi (mata pencaharian) yang menjadi salah satu inspirasi manusia untuk berbudi daya atau berkarya guna mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Hidup manusia tidak dapat lepas dari sistem kemasyarakatan yang menaunginya karena pada dasarnya manusia sebagai mahluk sosial selain sebagai makhluk individu dan makhluk Tuhan. Manusia dalam menghasilkan karyanya atau mengungkapkan pengalamannya dengan kemasan yang memadai tidak mesti melalui akal murni semata, namun rasa memiliki kepekaan terhadap kenyataan yang tidak ditemukan akal, seperti dalam kesenian atau keindahan. Agama sebagai keyakinan hidup pemeluknya, keyakinan menyatakan diri dalam iman dan amal, menyempurnakan seluruh prilaku manusia, agama pun menghasilkan nilai-nilai yang dapat dilihat dan dirasakan manusia sebagai mahluk Tuhan.

D. Kebudayaan sebagai Rencana Masa Depan

Kebudayaan dapat dipandang sebagai cara-cara untuk mengatasi masalah. Dan bila ditelusuri lebih dalam untuk mencapai tujuan bukan saja piranti yang dibutuhkan harus ada, namun agar piranti tersebut dapat digunakan efektif dan atau efisien dalam mencapai tujuan yang hakikatnya berada dalam lingkaran masa depan maka memerlukan sebuah rencana dan atau strategi yang matang/baik, dengan kata lain rencana dan atau strategi yang baik akan membawa manusia pada pencapaian masa depan atau hari esok yang cerah sebagai titik tujuan. Van Peursen (1978:216) mengatakan, bahwa kebudayaan merupakan strategi atau rencana yang dibuat oleh manusia dan diarahkan kepada hari depan. Dengan demikian kebudayaan bukan saja merupakan alat/piranti untuk menggapai tujuan, hari depan yang cerah, tetapi sekaligus sebagai strategi dan atau rencana masa depan, masa depan yang panjang, masa depan yang diperebutkan tangan-tangan insan.

Mencapai hari/masa depan yang cerah menjadi impian setiap orang, untuk itulah memerlukan rencana yang baik dan alat yang baik pula. Kebudayaan sebagai rencana masa depan kehidupan manusia, yang mana manusia sendiri sebagai produsen dan sekaligus konsumen kebudayaan oleh karenanya manusia haruslah dapat melahirkan kebudayaan yang baik, kebudayaan yang memiliki nilai kemanusiaan dan nilai keilahian, kebudayaan yang membumi dan melangit.

Kebudayaan yang memiliki nilai kemanusiaan dan nilai keilahian atau kebudayaan yang membumi dan melangit inilah yang dapat membuat manusia dalam suasana keaktifan, kedinamisan, keoptimisan, kearifan dan keselarasan/ keseimbangan serta kesadaran terhadap dirinya baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Kebudayaan ini pula yang dapat melepaskan tali belenggu kebodohan dan pembodohan, kemiskinan dan pemiskinan (moral). Juga menjadi peluru yang dapat merobek tabir misteri kehidupan, dan peluru penembus dinding penyekat ruang dan waktu yang sempit dan menyempit yang terus membentengi kehidupan manusia. Dan pada akhirnya melalui kebudayaan yang didasari nilai kemanusiaan dan keilahian manusia mampu meraih hari depan yang cerah sebagai titik tujuan yang dicita-citakan.
Gazalba (1973: 60) mengatakan, bahwa ruang dan waktu menentukan kebudayaan. Berbeda ruang berbeda kebudyaannya. Berlainan waktu berlainan kebudayaannya. Kebudayaan pada hakikatnya terus berubah sesuai perkembangan zaman dan menjadi media yang menjadikan manusia mengerti dirinya dan dunianya, menjadikan insan yang berbudaya dan beradab, serta menjadi jembatan emas yang mengantarkan manusia meraih hari depan yang dicita-citakan yang didasari nilai kemanusiaan dan keilahian..

E. Sistem Nilai Budaya

Sistem nilai budaya berakar dan meresap dalam jiwa masyarakat, sehingga sulit diubah dalam waktu yang relatif cepat. Sistem nilai budaya meiliki fungsi sebagai pedoman dan parameter bagi perilaku manusia. Sistem budaya ini manyangkut masalah pokok kehidupan manusia. Menurut Kluckhon dalam Notowidagdo (1997: 41), sistem budaya secara universal menyangkut lima masalah pokok kehidupan manusia yaitu: (1) hakikat hidup manusia, (2) hakikat karya manusia, (3) hakikat waktu manusia, (4) hakikat alam manusia, (5) hakikat hubungan manusia.

Hakikat hidup manusia untuk suatu kebudayaan tidaklah sama, ada yang berusaha untuk menyisihkan hidup, memadamkan hidup, namun ada pula yang menganggap manusia harus mengisi hidup karena hidup itu sesuatu yang baik bukan suatu yang buruk. Dalam hakikat karya manusia juga ada yang menganggap karya itu bertujuan untuk hidup, karya memberikan kedudukan dan kehormatan manusia, karya merupakan gerak hidup untuk melanjutkan atau menambah karya yang telah ada. Bagi manusia hakikat waktu ada yang berpandangan mementingkan waktu lampau, waktu sekarang atau waktu yang akan datang. Untuk hakikat alam manusia ada yang beranggapan manusia harus memanfaatkan alam semaksimal mungkin, manusia harus harmonis dengan alam, dan manusia harus menyerah pada alam. Sedang hakikat hubungan ada yang berpandangan mementingkan hubungan manusia dengan manusia, dan ada yang mementingkan pada individualistis.

Hakikat nilai kebudayaan selain yang telah tersebut, ada satu hakikat lagi yang tidak dapat diabaikan yakni hakikat mati manusia. Ada yang berpandangan bahwa kematian adalah sebuah akhir kehidupan; dan ada yang berpandangan kematian hanyalah sebuah tahap kehidupan untuk menuju tahap kehidupan berikutnya. Hakikat kematian ini memberi pengaruh besar terhadap pola pikir, pola rasa, dan pola laku hidup manusia. Hidup dan mati merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

F. Perubahan Kebudayaan

Kebudayaan yang lahir dan hidup dalam masyarakat ini pada dasarnya selalu mengalami perubahan. Perubahan kebudayaan ini terjadi disebabkan perubahan berbagai macam hal. Notowidagdo (1997: 53) mengatakan, “Perubahan kebudayaan terjadi disebabkan (1) berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri, dan (2) perubahan lingkungan alam dan pisik.tempat mereka hidup”.
Kebudayaan akan selalu mengalami perubahan, dan perubahan itu disebabkan kehidupan masyarakat berubah, nilai kebudayaan berubah, dan lingkungan alam dan fisik berubah. Selain itu ruang dan waktu akan mempengaruhi berubahnya kebudayaan, karena ruang dan waktu ikut serta menentukan jalannya roda kebudayaan. Sebagaimana dituturkan Gazalba (1973:60), berbeda ruang berbeda kebudyaannya. Berlainan waktu berlainan kebudayaannya. Waktu perubahan kebudayaan berjalan tidak selalu sama, perubahan kebudayaan dapat berjalan dalam waktu cepat, sangat lambat atau di antara keduanya tergantung oleh ruang, waktu dan tempo yang berjalan. Jika perubahan kebudayaan berjalan sangat lambat atau berjalan di tempat maka terkesan/terlihat tidak ada perubahan. Namun perubahan kebudayaan akan cenderung seirama dengan hidup masyarakat sebagaimana dikatakan Bakker (1984:113), kebudayaan berubah seirama dengan perubahan hidup masyarakat. Perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, teknologi baru dan akibatnya dal;am penyesuaian cara hidup dan kebiasaannya kepada situasi baru. Berubahnya sesuatu dalam kehidupan manusia baik yang terkait dalam wujud pisik atau non pisik pada hakikatnya akan membawa atau menjadikan perubahan dalam kebudayaan. Sedangkan proses perubahan kebudayaan dapat terjadi melalui imitasi, discovery, invensi dan defusi. Imitasi: peniruan kebudayaan primitif/sederhana atau kebudayaan yang maju oleh generasi muda terhadap generasi tua. Discovery: penemuan baru. yang mengubah persepsi hakikat sesuatu. Invensi: pembuatan bentuk baru melalui proses penciptaan dan didasarkan pengkombinasian kebudayaan yang telah ada. Difusi: persebaran unsur-unsur kebudayaan dari suatu tempat ke tempat lain oleh kelompok manusia.

Proses perubahan kebudayaan tidaklah sesingkat membalikkan telapak tangan, tapi membutuhkan waktu yang relatif panjang karena memerlukan pemikiran-pemikiran yang baik untuk dapat melahirkan suatu kebudayaan (baru) yang baik dan memerlukan penyesuaian-penyesuaian yang arif bijaksana agar kebudayaan (baru) dapat diterima masayarakat banyak serta tidak menimbulkan benturan-benturan yang merisaukan dan menyakitkan, serta kebudayaan (baru) hasil perubahan tidak diasingkan. dan mengalami kesepian dalam kesendirian, karena perubahan kebudayaan pada hakikatnya pengayaan kebudayaan.

G. Kebudayaan Menjadi Piranti Penunjang

Manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan ingin selalu dapat memenuhi keinginannya atau mewujudkan harapannya yang jauh hari telah dicanangkan, dan tidak mengalami kegagalan, tidak ingin terkungkung dalam penderitaaan dan dililit berbagai permasalahan hidup karena kegagalan dan penderitaan sesuatu yang dapat mengecewakan, mengerikan, dan menjadi penghambat manusia dalam menggapai kesuksesan. Untuk itu manusia berjuang keras dengan berbagai aktifitas budinya untuk meraih harapannya dengan melahirkan sesuatu apa yang dinamakan kebudayaan. Karena pada hakikatnya kebudayaan yang merupakan hasil budi manusia merupakan sebuah piranti/alat yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, dan mengatasi masalah-masalah kehidupan. Notowidagdo (1997:27) mengatakan, “kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, pola tindakan dari hasil cipta, rasa dan karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya”. Nasution (1995:62) mengatakan, bahwa kebudayaan dapat dipandang sebagai cara-cara mengatasi masalah-masalah yang dihadapi. Kebudayaan sebagai strategi untuk mengatasi masalah dalam kehidupan, dan menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup, oleh karenanya kebudayaan memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, kebudayaan merupakan sebuah alat/piranti penunjang untuk mencapai tujuan yang didambakan. Melalui kebudayaan manusia mampu memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya dengan menggunakan berbagai metode/strategi yang sesuai, serta melalui kebudayaan manusia dapat mewujudkan harapannya, dan mencapai hari depan yang cerah. Tanpa kebudayaan manusia akan berada di persimpangan jalan, ada dalam kebingungan dan penderitaan dan atau hidup dalam kematian yang tak ubahnya patung yang tak pernah berkata dan tertawa. Oleh karenanya manusia harus dapat menciptakan, menggunakan, membina dan membawa kebudayaan dengan baik, jangan sampai manusia sendiri tergilas oleh roda kebudayaan yang akan menjadikan manusia sengsara dan lupa akan dirinya dan Tuhannya. Tetapi tidak menutup kemungkinan manusia akan tergilas roda kebudayaan yang terus berjalan jika kebudayaan dijadikan sebagai tujuan akhir kehidupan, dan bahkan kebudayaan menjadi Tuhannya.

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, JWM. 1994. Filsafat Kebudayaan.Yogyakarta: Kanisius
Gazalba, Sidi. 1963. Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu. Jakarta: Pustaka Antara.
Gazalba, Sidi. 1973. Sistematika Filsafat I. Jakarta: Bulan Bintang.
Geertz, Clifford. 2000. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Nasution, S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Notowidagdo, Rohiman. 1997. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al Qur’an dan Hadits. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sulaiman, M. Munandar. 1998. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: Eresco.
Van Peursen, C. A. 1978. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.


Selengkapnya...

Friday, January 16, 2009

ETIKA SUBSISTEN ORANG-ORANG PINGGIRAN

Rosichin M.

Masyarakat desa tradisional mendapat desakan kuat modernisme dan industrialisasi yang terus merambah. Mereka sebagai orang-orang pinggiran tak mau terpuruk dan jatuh ke titik nol kehidupan. Sejalan dengan prinsip "dahulukan selamat" yang ditawarkan Roumasser, mereka mencipta ruang-ruang sendiri sebagai strategi melangsungkan hidupnya, sekaligus sebagai respon sistem yang ada yang kurang membela atau memberi angin segar kepada orang-orang pinggiran. Ruang profesi ojek menjadi ruang tumpuan yang diisi para suami, dan ruang lain, ruang sambilan yang menjadi penopangnya diisi para istri tapi tidak sampai menjadi ruang pelacur jalanan.


Tulisan hasil riset di atas terbit bersama tulisan hasil riset teman-teman, di antaranya tentang agama lokal, kearifan lokal, dan ritual. Untuk mengetahui lebih jauh bisa dibaca di buku yang disunting Direktur Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, Irwan Abdullah et.al. Judul buku "Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global". Editor: Iwan Abdullah et.al. Penerbit: Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Pelajar Yogyakarta. 2008. p. 457.



Selengkapnya...