Wednesday, October 21, 2009

MENGUBUR MITOS

Den Ros

Batu nisan Mitos telah berdiri di tengah alun-alun kehidupan rakyat. Hari Selasa 20 Oktober 2009 adalah hari yang mencatat sejarah dengan tinta emas, mencatat terkuburnya "Mitos Presiden Indonesia Turun di Tengah Jalan". Soekarno, Presiden Pertama RI turun di tengah jalan, bukan turun di akhir masa jabatannya. Soeharto sebagai Presiden RI berikutnya mengalami nasib yang sama dengan Soekarno. Kemudian Presiden RI Abdurrahman Wahid pun tak jauh beda jejak yang dijalaninya, sang Kyai Haji itu turun dari kursi Singgasana Presiden RI di tengah jalan. Peristiwa-peristiwa itu sebuah sejarah yang melahirkan mitos, Presiden RI selalu turun di tengah jalan. Mitos itu berjalan, menari dan bernyanyi di sudut-sudut desa dan kota seantero nusantara. Haruskah bangsa yang besar ini selalu membuat peristiwa turunnya sang Resi, sang Begawan, sang Presiden dengan tidak manis? Sungguh memilukan dan memprihatinkan bila terulang sepanjang hayat. Sang surya pun akan meneteskan air mata iba sepanjang sungai Nil.


Jam diding berdetak mengikuti jalannya waktu. Waktu telah melukis sebuah potret kehidupan yang indah, Presiden RI bernama SBY turun dengan manis sampai akhir masa jabatannya bersamaan dilantik kembali SBY menjadi Presiden RI 2009-2014 Selasa 20 Oktober 2009. Mitos itu pada hakikatnya terkubur bukan oleh SBY tapi Bangsa Indonesia yang mengubur mitos itu. Selamat untuk Bangsa Indonesia yang semakin cerdas, dewasa, santun dan bijaksana. Mudah-mudahan mitos itu terus terkubur, tak lagi bangkit dari kuburnya dan tertawa di tengah alun-alun kehidupan ibu pertiwi, sehingga bangsa dalam keadaan gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertaraharja, baldatun toyibatun warobun ghofur. Selain terus membangun bangsa yang dinamis, berkebudayaan dan berperadaban yang lebih baik dan mendunia.

Meski terbujur di bawah batu nisan Mitos itu masih bernapas. Tangan-tangan rakyat sendirilah yang pada hakikatnya mengubur dan membangkitkan mitos itu. Lantaran itu muncul petanyaan, sanggupkah tangan-tangan rakyat bergandeng tangan penuh kemesraan, terutama tangan agamawan, negarawan, ilmuwan, politikus dan kritikus serta mahasiswa agar napas mitos itu tak menitis dan berubah menjadi api yang akan membakar tangan rakyat yang memiliki segudang ambisi dan kepentingan untuk mencabik-cabik kemesraan itu di masa datang hingga mitos itu kembali tertawa? Waallahualam.

Selengkapnya...

Sunday, October 18, 2009

KOALISI PARTAI PERLU ?

Den Ros

Suatu partai dalam sejarah perjalanannya tak bisa lepas dari pasang surut atau fluktuatif, suatu waktu pasang / besar dan suatu waktu surut / kecil, tak ubahnya air laut. Keadaan itulah yg menjadikan lahirnya 1001 kiat atau strategi partai untuk bisa bertahan tetap besar dan tidak surut serta menghindari hanya tinggal sebuah nama. Kecil kemungkinan sebuah partai bisa bertahan lama kecuali semua orang dan partai menghendakinya. Filosof Yunani Heraklitos mengatakan sesuatu yang ada itu tak pernah tetap.



Contoh sejarah pasang surut kehidupan partai terlihat dalam perjalanan kehidupan partai PNI di era Orde Lama tampak besar/pasang; begitu juga Golkar ketika masa Orde Baru tampak besar/pasang. Tapi saat sang Begawan partai-partai tersebut lengser keparabon partai pun mengalami surut. Kini tampaknya partai berlambang pohon beringin menggeliat bangkit menguatkan kembali pilar-pilarnya, dan membayangi partai Demokrat (PD) yang lagi pasang. Kini sang Begawan PD duduk di kursi Singgasana, yang pada awalnya partai kecil. Bercermin pada perjalanan partai-partai di atas kiranya dapat dipahami eksistensi sebuah partai itu fluktuatif, dan fluktuatif itu sebuah keniscayaan. Oleh karena itu selagi sebuah partai pasang / besar jangan sampai melahirkan arogansi terhadap partai gurem atau yg lagi surut / kecil, lantaran yang kecil bisa jadi menjadi dewa penolong, dan tak ada yang langgeng, kurva lehidupan terus berjalan bersama mentari.

Partai gurem atau kecil pada dasarnya berdiri di persimpangan jalan, menghadapi dilema, jika berkoalisi dengan partai besar (pemenang pemilu), tak akan berarti dan termarjinalkan dikala mengambil suatu keputusan bersama. Oleh karenanya partai yang kalah dalam pemilu dan memiliki massa atau basis besar dan kuat kiranya lebih baik menjadi oposan (yang sebenarnya)jangan hanya oposan moral oposan yang separoh hati. Dengan menjadi oposan akan memiliki harga tawar tinggi sekaligus menjadi pengritik dan pengontrol jalannya roda pemerintahan yg dipegang partai pemenang pemilu agar tidak arogan dan terus berjalan dalam relnya. Bagi partai pemenang pemilu dan pemegang tapuk pemerintahan tampaknya lebih senang berkoalisi karena akan bisa lahir satu nyanyian, satu kata yang indah dan menguatkan pilar-pilar pemerintahannya, selain nyanyian dominasi bisa terus mengalun dan senyum hegemoni menusuk sukma.

Nyanyian Dominasi partai pemenang pemilu akan terus mengalun di sudut-sudut kebijakan dan alun-alun kehidupan. Tebaran senyum hegemoni pun menusuk sukma partai yang kalah hingga tak bisa lagi berkata-kata cuma anggukan kepala mengiyakan lantaran terjebak bermain cinta di kedai koalisi dengan menikmati segarnya secangkir kopi dan lezatnya secuil kue jabatan menteri/jabatan lain sedrajat. Pada hakikatnya kata koalisi sebuah kata yang lebih santun dari sebutan "politik dagang sapi", dan bagi partai yang mau berkoalisi berarti mengubur idealismenya sendiri.

Mengubur idealismenya sendiri bukan menjadi problem bagi si Kutu Loncat, si Petulang Politik lantaran nama dan seonggok jagung lebih dikedepankan dan lebih bisa menjamin dibanding idealismenya yang terus melayang-layang tak karuan. Mungkin malah Kutu loncat, Petualang Politik menjadi idealismenya yang akan membawa pencerahan dalam hidup dan kehidupan. Kutu Loncat, Petualang Politik sebuah proyeksi pepatah Jawa esuk dele sore tempe.


Selengkapnya...