MALAM
jalan jalan malam
ketemu teman lama
Ku ta'mau tenggelam
dalam cinta pertama
MENCARI
Orang suka mencari-cari
bunga mawar bunga melati
Tiada yang bisa berlari
jika nafasnya sudah berhenti
KENANGAN
Jalan kenangan jalan melati
banyak berjejer jualan nasi
Setiap di jalan harus hati-hati
jika ta'mau urusan dengan polisi
07-09-2015
Selengkapnya...
NeoHumanis
Monday, September 7, 2015
PANTUN WARNA WARNI
Wednesday, December 25, 2013
NGRAMAL PRESIDEN MENDATANG
Iing Fao
Tidak lama lagi pesta demokrasi akan dihelat. Siapa pengganti presiden sekarang, usai masa jabatan berakhir? memang tidak mudah untuk menjadi presiden mendatang yg penuh tantangan, begitulah tutur Wicaksono di depan teman-temannya yang lagi nongkrong di warung kopi. Bejo menimpali; Dulu ada seorang yang cerdas dan punya pemikiran/pandangan ke depan tentang pemimpin negara. Sang pemikir itu kalau tidak salah namanya Pangeran Joyoboyo, Pangeran itu mengatakan: NOTONEGORO. Suryo pun menyambung NOTONEGORO itu suatu simbol (sukukata/kata) bagi pemimpin negara. Kita menilik kembali Presiden RI 1 Soekarno; Presiden RI ke 2 Soeharto; keduanya punya huruf NO dan TO dari namanya, keduanya yang telah NOTO (negoro). Sedangkan yang sesudahnya hanya bikin GORO2, canda Udin. Kalau begitu apakah orang yang tidak punya sukukata/kata dalam simbol itu tidak bisa jadi presiden ke depan? tanya Agus. Ya iya lah timpal Bejo, kalau mau jadi Presiden ya ganti nama dulu dengan nama yang punya sukukata notonegoro. Kalau tidak ganti nama tapi bisa jadi Presiden sanggah Bunga; ya berarti orang itu tidak terkena atau di luar lingkaran ramalan itu, jawab Bejo. Teman2, ini hanya ngramal ngawur alias ora tenanan, kata Wicaksono akhiri ngobrol di warung kopi.
Selengkapnya...
Sunday, April 7, 2013
FILSAFAT PENDIDIKAN
Pendidikan berjalan bersama jamannya, berjalan bersama kehidupan masyarakat yang terus berkembang pula. Pendidikan dalam perjalanannya tak bisa mengelak dari problem-problem yang terus bermunculan menghadangnya. Problem-problem itu berbeda dalam kadarnya, dan pada gilirannya problem-problem itu berbeda dalam penanganannya, ada yang bisa cepat diatasi, ada pula yang butuh waktu lama serta ada yang meminta pertolongan pada pihak lain, pihak filsafat pendidikan. Permintaan tolong pada filsafat pendidikan itu sebuah kewajaran karena problem yang dihadapi pada dasarnya bukan lahan atau kapling pendidikan melainkan lahan garapan filasafat pendidikan. Filasafat pendidikan suatu ilmu yang membahas bidang pendidikan secara filosofis. Filsafat pendidikan pun merupakan suatu jawaban filosofis terhadap pertanyaan yang filosofis dalam dunia pendidikan.
Hakikat pendidikan, isi, tujuan dan kebijakan dalam dunia pendidkan menjadi lingkup kajian filsfat pendidikan. Untuk itu filsafat pendidikan memiliki peranan dan fungsi yang strategis dalam dunia pendidikan. Sedang metode-metode untuk mengkajinya perlu mempertimbangkan relevansinya. Metode studinya terdapat metode rasionalistik, metode empirik, metode intuisi, metode reflektif, metode historis, dan metode analisis sintetis serta hermeneutika. Sementara pendekatan yang digunakan filsafat pendidikan dengan berkiblat pada ajaran filsafat dan pendidikan. Aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi menjadi teropong aspek dalam mengkaji bidang pendidikan sehingga bisa melihat tentang hakekat, proses dan nilai guna pendidikan.
Selain mengkaji pendidikan secara ontologi, epistemologi dan aksiologi, tulisan ini juga mengusung aliran-aliran atau mazhab-mazhab filsafat pendidikan; yakni idealisme, realisme, materialisme, pragmatisme, progresivisme, esensialisme, perenialisme, eksistensialisme, rekontruksionisme, dan konstruktivisme. Aliran-aliran tersebut memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam memandang dunia pendidikan, dunia yang dibutuhkan manusia yang dapat mengantarkan pencerahan hidup dan kehidupannya.
A. Pendahuluan
Waktu terus berjalan, pendidikan pun terus berkembang bersama hiruk pikuk hidup dan kehidupan insan. Problem-problem pendidikan pun bermunculan begitu cepat secepat cendawan tumbuh di musim hujan. Ilmu pendidikan bertanggungjawab untuk memecahkan problem-problem tersebut, untuk itu tidaklah ringan tanggung jawab yang diembannya karena begitu kompleks problem-problem yang ada di dunia pendidikan. Tak jarang ilmu pendidikan pun meminta pertolongan pada pihak lain, pihak filsafat pendidikan karena problem yang dihadapi berada di luar kaplingnya dan sudah memasuki wilayah atau lingkaran hakikat. Manakala problem pendidikan memasuki lingkaran yang substansial atau filosofis kiranya ilmu pendidikan menyerahkan garapan itu pada filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan akan menjawab secara filosofis atas pertanyaan filosofis yang muncul dari belahan dunia pendidikan. Ontologi, epistemologi dan aksiologi akan menjadi piranti meneropong belantara yang penuh pohon problem pendidikan, yang terus tumbuh dari waktu ke waktu, dan tak pernah habis, kemudian filsafat pendidikan menatanya rapi dan komprehensip. Lebih dari itu filsafat pendidikan menjadi landasan pemikiran pendidikan yang melahirkan rumusan dasar-dasar atau azas-azas pendidikan. Filsafat pendidikan juga memberi arah perjalanan kemajuan pendidikan dan sekaligus mengoreksi kekurangannya guna mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
B. Pengertian Filsafat Pendidikan
Menurut A. Chaedar Alwasilah: Filsafat Pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat, dan isi yang ideal dari pendidikan (Chaedar, 2008:101). Al-Syaibany: Filsafat Pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Hal senada dikatakan Hasan Langgulung: Filsafat Pendidikan adalah aktivitas pemikiran teratur yang menjadikan filsafat sebagai medianya untuk menyusun proses pendidikan, menyelaraskan, mengharmoniskan, dan menerapkan nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya (Jalaluddin, 2007:19,158). Sedang George R. Knight mengatakan: Filsafat Pendidikan tidak berbeda dengan filsafat umum, ia merupakan filsafat umum yang diterapkan pada pendidikan sebagai sebuah filsafat spesifik dari usaha serius manusia (Knight, 2007:21). Sementara Imam Barnadib mengatakan: Filsafat Pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan (Barnadib, 1986:14). Berdasar pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah ilmu yang membahas pendidikan secara filosofi, atau ilmu yang membahas secara filosofi mengenai pendidikan.
C. Ruang Lingkup Bahasan Filsafat Pendidikan
Pendidikan yang menjadi sarana mencerdaskan dan mencerahkan manusia sangatlah luas lingkup bahasannya, filsafat pendidikan pun tidak jauh berbeda lingkup bahasannya. Lingkup bahasan atau obyek filsafat pendidikan sangat luas, seluas aspek pendidikan dan aspek yang berkait. Semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan atau memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhubungan bagaimana pelaksanaan pendidikan yang baik, dan bagaimana tujuan pendidikan dapat dicapai sesuai yang dicita-citakan (Jalaluddin, 2007:25). Jelas kiranya bahwa lingkup bahasan filsafat pendidikan itu aspek-aspek yang berhubungan dengan pendidikan, seperti: hakekat dasar, tujuan, isi dan kebijakan serta penyelanggaraan pendidikan. Oleh karena itu bahasan filsafat pendidikan sangatlah luas dan pelik.
D. Peranan dan Fungsi Filsafat Pendidikan
1. Peranan Filsafat Pendidikan
Tidak dapat dinafikan setiap ilmu yang telah lahir di muka bumi tentulah memiliki arti dan fungsi bagi kehidupan manusia. Begitu pula filsafat pendidikan suatu ilmu yang memiliki peranan dan fungsi dalam kehidupan khususnya kehidupan dunia pendidikan.
Menurut Jalaluddin & Abdullah Idi peran filsafat pendidikan: 1) Landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijakan dan pelaksanaan pendidikan; 2) Pemberi arah dan pedoman bagi usaha-usaha perbaikan, meningkatkan kemajuan dan landasan kokoh bagi tegaknya sistem pendidikan. (Jalaluddin, 2007:29-33).
Filsafat Pendidikan memiliki peranan yang penting karena filsafat pendidikan menjadi landasan filosofis dan pemberi arah untuk usaha-usaha perbaikan, kemajuan dan tetap eksisnya pendidikan. Tanpa landasan dan arahan, penyelenggaraan pendidikan sangat sulit untuk mencapai tujuan pendidikan yang direncanakan. Landasan yang kuat sangat dperlukan bagi para pembangun bangunan pendidikan selanjutnya agar bangunannya menjadi kokoh dan eksis selamanya.
2. Fungsi Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan di samping memiliki peranan yang strategis, juga memiliki fungsi yang penting dalam dunia pendidikan, dunia yang mampu merubah karakter manusia, dan mendewasakan manusia, serta dunia yang memanusiakan manusia.
Fungsi filsafat pendidikan sebagai berikut: 1) Merumuskan dasar-dasar dan tujuan pendidikan, sifat dan hakikat manusia serta pendidikan, dan isi moral (sistem) nilai pendidikan; 2) Merumuskan teori, bentuk, dan sistem pendidikan, mencakup kepemimpinan, pendidikan, politik pendidikan, bahan pendidikan, metodologi pendidikan dan pengajaran, pola-pola akulturasi serta peranan pendidikan dalam pembangunan bangsa dan negara; 3) Merumuskan hubungan antara agama, filsafat, filsafat pendidikan, teori pendidikan dan kebudayaan (Jalaluddin, 2007:159).
Filsafat pendidikan memiliki fungsi merumuskan dasar dan tujuan pendidikan, merumuskan teori, bentuk dan sistem pendidikan serta merumuskan hubungannya dengan agama dan kebudayaan. Fungsi filsafat pendidikan sangat strategis karena merumuskan masalah-masalah mendasar yang berkait dengan dunia pendidikan dan hubungannya dengan pembangunan bangsa dan negara. Dasar dan tujuan pendidikan yang jelas akan memudahkan dalam penyelenggaraan pendidikan, dan dapat menjadi parameter akan tercapai tidaknya apa yang dicita-citakan.
E. Hubungan Filsafat dengan Filsafat Pendidikan, Filsafat dengan Pendidikan, dan Filsafat Pendidikan dengan Pendidikan
1. Hubungan Filsafat dengan Filsafat Pendidikan
Manusia yang memikirkan pendidikan, dan sekaligus manusia menjadi subyek pendidikan. Pemikiran manusia yang mendalam dan sistematik akan melahirka suatu filsafat. Dan Bila pendidikan menjadi obyek bahasannya lahirlah filasafat pendidikan Dengan kata lain filsafat dengan filsafat pendidikan memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan; sebagaimana dikatakan Hasan Langgulung: Filsafat Pendidikan adalah penerapan metode dan pandangan filsafat dalam bidang pengalaman manusia yang disebuntukan pendidikan (Jalaluddin, 2007:31). Hal senada diungkapkan Imam Barnadib: Filsafat Pendidikan ialah ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam pemikiran dan pemecahan mengenai masalah pendidikan (Barnadib, 1986:7). Sejalan pula dikatakan Kilpatrick: Berfilsafat dan mendidik adalah dua fase dalam satu usaha. Berfilsafat berarti memikirkan dan mempertimbangkan nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik. Sedangkan pendidikan atau mendidik adalah suatu usaha merealisasikan nilai2 dan cita-cita dalam kehidupan dan kepribadian manusia (Djumransyah, 2006:42). Begitu juga dituturkan John Dewey: Filsafat merupakan teori umum, sebagai landasan dari semua pemikiran umum mengenai pendidikan (Jalaluddin, 2007:31). Kiranya tampak jelas bahwa Filsafat dan filsafat pendidikan memiliki hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, filsafat melandasi dan melatarbelakangi lahirnya filsafat pendidikan.
2. Hubungan Filsafat dengan Pendidikan
Menurut George R. Knight: Pendidikan tidak dapat menghindari dunia metafisis, metafisis kajian tentang realitas, adalah pusat bagi konsep apa pun dari pendidikan. Kepercayaan metafisis yang berbeda membawa ke arah pendidikan yang berbeda pula, bahkan memilahkan sisitem-sistem pendidikan. Sistem-sistem pendidikan bersinggungan dengan pengetahuan, dan karena itu epistemologi merupakan determinan utama paham-paham dan praktek-praktek pendidikan. Sementara E.F. Sumacher: tanpa adanya penekanan ulang perhatian aksiologi, pendidikan akan terbukti sebagai agen penghancuran daripada sebagai sumber pembangunan. Adapun George R. Knight mengatakan: Konsep-konsep tentang realitas, kebenaran dan nilai merupakan kandungan isi filsafat, oleh karenanya filsafat adalah kerangka dasar yang melandasi praktik pendidikan. Hal senada dikatakan Samuel Shermi: Semua isu-isu kependidikan pada puncaknya bersifat filosofis (Knight, 2007: 28-46,58,230). Kiranya dapat dipahami bahwa filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang berkait, filsafat menjadi kerangka dasar yang melandasi praktik pendidikan, dan pendidikan menjadi media aktualisasi konsep-konsep filsafat. Pendidikan akan selalu berdialog dengan filsafat karena pendidikan yang terus berkembang membutuhkan kerangka dasar atau konsep demi eksis dan majunya pendidikan. Begitu pula sebaliknya filsafat akan bergandengan dengan pendidikan karena pendidikan menjadi piranti dalam mengejawantahkan konsep-konsepnya.
3. Hubungan Filsafat Pendidikan dengan Pendidikan
Filsafat pendidikan merupakan landasan bagi pelaksanaan pendidikan yang terus berkembang dinamis. Filsafat pendidikan merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan disiplin ilmu yang merumuskan kaidah2 nilai yang akan dijadikan ukuran tingkah laku manusia yang hidup ditengah-tengah masyarakat. (Jalaluddin, 2007:166,162). Tidak jauh berbeda yang dikatakan John S. Brubacher: Terhadap filsafat, … pendidikan itu harus menantikan suatu pola untuk bertindak. Sebaliknya pemecahan masalah filsafat pendidikan sangat memerlukan suatu pendidikan (Djumransyah, 2006:41). Filsafat pendidikan dan pendidikan memiliki hubungan timbal-balik yang saling membangun dan menguntungkan untuk kemajuan dunia pendidikan yang terus berkembang pesat; filsafat pendidikan sebagai landasan filosofis, kaidah nilai dan pola pelaksanaan pendidikan, dan pendidikan menjadi bahan pemecahan filsafat pendidikan.
F. Metode Studi dalam Filsafat Pendidikan dan Pendekatannya.
1. Metode Studi dalam Filsafat Pendidikan
Manusia dalam mempelajari sesuatu tentulah memerlukan metode agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Begitu pula Filsafat Pendidikan dalam studinya menggunakan metode: a) metode rasionalistik, b) metode empirik, c) metode intuisi, d) metode reflektif, e) metode historis, dan f) metode analisis sintetis (Arifin, 2000:19-23), serta hermeneutika.
a. Rasionalistik
Rasionalistik, suatu paham yang mengedepankan rasio. Sehingga paham ini dalam menganalisis fenomena (alam) berpegang pada kemampuan akal pikiran belaka. Adapun langkah-langkah berpikir rasionalitik sbb: 1). Tidak menerima begitu saja atas sesuatu yang belum diakui kebenarannya; 2). Menganalisis dan mengklasifikasi secara teliti; 3). Diawali sasaran yang paling sederhana dan mudah menuju yang kompleks; 4). Tiap masalah dibuat uraian yang sempurna dan dilakukan pengkajian kembali secara umum. Lankah-langkah tersebut dapat dipahmi bahwa untuk mengambil suatu kesimpulan memerlukan analisis secara teliti dan seksama, dan pengkajian ulang sehingga kecil kemungkinan terjadi bias.
b. Empirik
Metode ini dalam menganalisis fenomena-fenomena yang ada berdasarkan pengalaman, observasi dan penelitian/eksperimen. Pengalaman menjadi sesuatu yang utama, baik yang dihasilkan melalui observasi, penelitian atau ekperimen. Rasio menjadi pendukungnya dari pengalaman. Metode ini dikedepankan dalam dunia ilmu pengetahuan yang dapat diuji kembali kebenerannya di lain waktu
c. Intuisi
Intuisi memiliki kadar lebih tinggi dibanding intelek. Namun intuisi ini sulit untuk dibuktikann secara empirik, sulit pula diukur. Sehingga sering disingkirkan sebagai metode berpikir khususnya di dunia ilmu pengetahuan.
d. Reflektif
Reflektif: suatu cara berfikir yang dimulai dari adanya problem-problem yang dihadapkan kepadanya untuk dipecahkan. Problem-problem yang ada menjadi titik berangkat pemikirannya, tanpa adanya problem-problem aktifitas refleksi pun sulit dilakukan. Berdasar problem-problem yang dihadapi akan melahirkan hasil pemecahannya. Perjalanan roda pendidikan selalu dihadapkan problem-problem yang terus meneruak muncul karena pendidikan suatu yang terus berkembang. Dan problem yang besar tidak lain adalah kenyataan.
e. Historis
Metode ini pada problem-problem tertentu dapat digunakan utuk mengatasi problem yang dihadapi secara wajar. Biasanya metode ini diawali dari suatu tesis kemudian anti tesis, selanjutnya melahirkan sintesis.
f. Analitik-Sintetik
Suatu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran, dan pemikirannya secara induktif dan deduktif serta analisa ilmiah.
Pemikiran induktif: cara berpikir yang berdasar fakta-fakta yang bersifat khusus terlebih dahulu dipakai untuk penarikan yang bersifat umum. Sedang deduktif: cara berpikir dengan menggunakan premise-premis dari fakta yang bersifat umum menuju ke arah yang bersifat khusus sebagai kesimpulannya. Pemikiran induktif dan deduktif dapat digunakan dengan silih berganti, tergantung pada kesukaan dan kecenderungan pola pikir penggunanya.
Contoh pemikiran Induktif,
Buku 1 besar dan tebal adalah mahal
Buku 2 besar dan tebal adalah mahal
Konklusi : semua buku besar dan tebal adalah mahal
Contoh pemikiran Deduktif,
Premis mayor: Semua buku besar dan tebal adalah mahal
Premis minor : Buku 3 adalah besar dan tebal
Konklusi : buku 3 adalah mahal
Sementara Analitik-sintetik: Mengurai sasaran-sasaran pemikiran filosofis sampai unsur sekecil-kecilnya, kemudian memadukan kembali unsur-unsur sebagai kesimpulan hasil studi. Pemikiran analitik sintetik ini merupakan hasil paduan unsur-unsur baik yang dilakukan secara analitik maupun sintetik.
g. Analisis Bahasa dan Analisis Konsep
Analisis bahasa, usaha untuk mengetahui arti sesungguhnya dari sesuatu atau usaha untuk mengadakan interpretasi pendapat atau pendapat mengenai makna yang dimiliknya. Analisis konsep, Analisis kata-kata atau istilah-istilah yang menjadi kunci pokok yang mewakili suatu gagasan atau konsep. Analisis bahasa itu memberi interpretasi dari sesuatu pendapat, sedang analisis konsep mengurai kata kunci yang menjadi sample konsep.
h. Hermeneutika
Selain metode tersebut di atas, hermeneutika (takwil) dapat menjadi metode pemikiran dalam studi filsafat pendidikan karena melalui hermeneutika ini memungkinkan pengetahuan yang mendasar dapat diperoleh. Pengikut hermeneutika dalam mempelajari perilaku manusia mecari perspektif yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang paling mendasar. Takwil bukan sekedar teknik penelitian atau alat pengetahuan atau jalan menuju kebenaran, melainkan takwil adalah bidang pemahaman yang memungkinkan untuk mengkaji wujud secara baru dan memungkinkan untuk mendefinisikan kembali tentang sesuatu (Alwasilah, 2008:125,127). Hermeneutik suatu alat atau metode pengkajian untuk mendapatkan pemahaman pengetahuan atau kebenaran.
Metode-metode tersebut tidak selalu pas/relevan dan dapat digunakan disetiap obyek kajian. Untuk itu penggunaan metode harus mempertimbangkan relevansi bahan yang menjadi obyek pengkajian, penemuan atau pengembangan pendidikan, sehingga akan menghasilkan kesimpulan yang benar dan tidak bias.
2. Pendekatan Filsafat Pendidikan
Pendekatan filsafat pendidikan dalam melakukan studinya, yaitu: 1) ajaran filsafat/aliran filsafat tertentu, dan 2) Pendidikan. Filsafat pendidikan dalam melakukan studinya akan merujuk pada ajaran filsafat, dan pendidikan. Untuk paham filsafat di antarnya seperti idealisme, realisme, materialisme, pragmatisme, eksistensialisme dan fenomenologi, sedang ajaran pendidikan seperti nativisme, empirisme dan konfergensi.
H. Aspek Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pendidikan
1. Aspek Ontlogi Pendidikan
Pendidikan dalam hubungannya dengan asal usul, eksistensi dan tujuan hidup manusia; pendidikan suatu proses menumbuhkembangkan, dan membimbing (berkesinambungan) potensi manusia. Sasarannya menumbuhkan kesadaran atas eksistensi manusia yang berasal-usul dan bertujuan, sehingga membuahkan “kecerdasan spritual”. Kecerdasan spiritual dijadikan fondasi eksistensi manusia agar berlangsung dalam dinamika perkembangan secara konstan berdasarkan kesadaran mendalam tentang hakikat asal usul dan tujuan kehidupnnya. Ontologi Pendidikan menurut Tingkat Keberadaan: 1) Esensi abstrak pendidikan; 2) Esensi potensial pendidikan; dan 3) Esensi konkrit pendidikan (Suhartono, 2007: 112-114). Esensi abstrak pendidikan bernilai universal artinya mutlak adanya dan berlaku bagi manusia siapa pun, kapan pun dan di mana pun. Sasarannya pemanusiaan manusia. Esensi potensial pendidikan, Pendidikan: suatu daya yang mampu membuat manusia berada di dalam kepribadiannya sebagai manusia, bukan makhluk lain. Pendidikan menumbuhkembangkan “kecerdasan inteligensia”. Eseensi konkrit pendidikan, Pendidikan: suatu daya yang mampu membuat setiap manusia individu berkesadaran utuh terhadap hakikat keberadaanya berdasar nilai asal usul dan tujuan kehidupannya. Berdasar kecerdasan spritual dan kecerdasan intelektual, hakikat konkrit pendidikan menekankan pada “kecerdasan emosional” yaitu kemampuan individu dalam mengendalikan perilakunya agar senantiasa sesuai dengan nilai asal usul dan tujuan kehidupan. Potensi manusia ditumbuhkan secara seimbang dan terpadu agar spirit manusia semakin cerdas. Manusia yang eksis dalam kecerdasan spiritualnya cenderung berwawasan luas dan mendalam, yang membuka untuk memasuki dunia transenden.
2. Aspek Epistemologi Pendidikan
Kebenaran pendidikan menunjuk pada output atau hasil dari sebuah rangkaian penyelenggaraan pendidikan. Kebenaran pendidikan dapat diukur menurut standar keilmuan, yaitu keterpaduan antara (kebenaran) bentuk dan (kebenaran) materi. Jika bentuk dan materi terpadu utuh, pendidikan benar adanya. Kebenaran bentuk diukur dengan keberhasilan menyelesaikan jenjang pendidikan formal, sedang kebenaran materi diukur sejauh mana di dalam diri seorang individu tumbuh potensi ilmu pengetahuan. Tujuan pendidikan “kecerdasan intelektual” (Suhartono, 2007: 129). Kecerdasan intelektual ini berupa, kreativitas, kecakapan dan ketrampilan, yang sumbernya kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah menjadi landasan terbentuknya watak dan sikap ilmiah. Sikap yang memandang dan menilai sesuai dengan kacamatanya, sehingga tidak ada penafsiran manipulative pada obyek.
3. Aspek Aksiologi (Etika) Pendidikan
Aksiologi (etika) pendidikan, sasaran utamanya menumbuhkan nilai kebaikan dalam perilaku manusia sehingga menjadi matang dan cerdas (kecerdasan emosional). Kecerdasan emosional adalah perlaku yang mengandung kebenaran, dan syarat dengan kebijaksanaan. Kecerdasan emosional adalah sebuah perilaku yang dibangun menurut dasar ontologi dan epistemologi pendidikan (Suhartono, 2007: 140). Kecerdasan spiritual menjadi basis dari kecerdasan intelegensi dan kecerdasan emosional. Tanggung jawab pencerdasan emosioanal selain keluarga, institusi pendidikan, juga masayakat. Masyarakat merupakan keseluruhan entitas social sehingga memiliki peran sentral dalam pencerdasan emosional. Meskipun ketiga komponen tersebut bertanggung jawab atas pencerdasan emosional tapi pada hakekatnya pencerdasan emosional berada pada individu masing-masing, yang merupakan makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan.
I. Aliran-aliran atau Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan
Alran-aliran atau mazhab-mazhab filsafat pendidikan yang akan diusung di sini yakni, idealisme, realisme, materialisme, pragmatisme, progresivisme, esensialisme, perenialisme, eksistensialisme, rekonstruksionisme, dan konstruktivisme.
1. Idealisme
Idealisme, memandang bahwa realitas akhir itu roh bukan materia atau bukan pisik.Dunia kenyataan merupakan manifestasi dari realitas. Hakikat manusia adalah jiwanya, rohaninya; yang menggerakan semua aktivitas manusia. Sementara memandang pengetahuan yang benar itu hasil akal belaka. Dan manusia dapat memperoleh kebenaran sejati dan pengetahuan realitas karena realitas hakikatnya spiritual. Sedang nilai bagi paham ini dikatakan nilai itu tetapn nilai tidak dicipta manusia, melainkan bagian dari alam semesta.
Pendidikan dalam pandangan idealisme merupakan proses abadi dari proses penyesuaian dan perkembangan mental maupun pisik, bebas dan sadar terhadap Tuhan, dimanisfestasikan dalam lingkungan intelektual, emosional, dan berkemauan. Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan, yaitu pribadi manusia yang ideal (Sadullah, 2007:101). Mengenai kurikulum, pendidikan liberal untuk pengembangan rasional dan pendidikan praktis. Adapun mengenai pembelajaran, Guru harus memandang peserta didik sebagai tujuan bukan alat. Guru harus membimbing, dan mengajarkan nilai-nilai yang tetap, abadi dan pelaksanaannya harus bersesuaian dengan pencipta alam semesta. Sehingga peserta didik mampu mencapai dunia cita, dan menikmati kehidupan abadi.
2. Realisme
Realisme memandang bahwa realitas itu terdiri dari dunia pisik dan dunia rohani. Dunia materi adalah nyata dan berada di luar pikiran. Akal menjadi piranti manusia untuk mengenal dunia, dan menjangkau kebenaran umum. Realisme (klasik) berpandangan pengetahuan yang benar berada di dalam pengetahuan atau kebenaran itu sendiri. Untuk pengetahuan tentang Tuhan tidak perlu dibuktikan karena Tuhan selef evident. Sementara mengenai pendidikan, tujuan pendidikan bersifat intelektual. Intelektual bukan sekedar tujuan tetapi juga merupakan alat untuk memecahkan problem-problem yang dihadapi manusia. Sedang untuk materi pendidikan yang esensi adalah pengalaman manusia; yang esensi itu sesuatu hasil penyatuan dan pengulangan pengalaman manusia. Adapun tentang sekeolah, di Sekolah harus menekankan perhatian pada pelajaran, dan diajarkan moral yang absolut dan universal. Sekolah pun harus menghasilkan individu-individu yang sempurna; manusia yang moderat yang mengambil jalan tengah. Jalan tengah ini akan menghasilkan manusia bijaksana dan menjunjung kebenaran.
3. Materialisme
Materi merupakan hakikat yang nyata. Rohani, spritual atau supranatural bukalah sesuatu yang nyata adanya. Yang ada hanyalah materi, tak ada alam rohani atau alam spiritual. Kepercayaan pada Tuhan merupakan proyeksi kegagalan dan ketidakpuasan manusia mencapai apa yang diinginkan dalam hidup dan kehidupannya. Tuhan hanyalah hasil hayalan manusia, Tuhan dicipta manusia. Oleh karenanya tidak ada gunanya berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak karena yang mutlak pada hakikatnya tidak ada. Pendidikan merupakan proses kondisionisasi lingkungan (Sadullah, 2007:116). Tujuan pendidikan adalah perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan kemampuannya untuk bertanggung jawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks. Adapun untuk kurikulum, isi pendidikan mencakup pengetahuan yang handal, dan berhubungan dengan perilaku. Pendidik memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses atau jalannya roda pendidikan. Sermentara peserta didik tidak punya kebebasan dalam proses pembelajaran; yang dilaksanakan dengan metode kondisionisasi. Kiranya dapat dipahami bahwa perubahan perilaku menjadi titik perhatian paham materialisme.
4. Pragmatisme
Paham ini memandang bahwa realita merupakan interaksi antara manusia dan lingkungannya. Manusia sebagai makhluk pisik hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis. Manusia hakikatnya plastis dan dapat berubah Sedang pengetahuan sebagi transaksi manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian dar pengetahuan. Nilai sesuatu yang relatif, selalu berubah, tidak tetap. Mengenai pendidikan, paham ini berpandangan bahwa pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekontruksi dari pengalaman-pengalaman individu (Sadullah, 2007: 125). Pembentukan pribadi anak merupakan proses menata dan mebangun kembali pengalaman-pengalaman anak, bukan proses pembentukan dari luar dan bukan pemerkahan potensi diri. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri bukan persiapan untuk kehidupan. Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang baik. Oleh karena pelajaran yang diberikan harus didasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami dan dibicarakan. Dan kurikulumnya, setiap pelajaran merupakan suatu kesatuan, perpaduan antara pengalaman di sekolah dan luar sekolah. Pendidik di sini hanya sebagai fasilitator dan memberi dorongan pada peserta didik hingga dapat berpikir ilmiah dan logis.
5. Progresivisme
Progresivisme, memandang realita (dunia) suatu proses atau tata di mana manusia hidup di dalamnya. Pengalaman sebagai ciri dinamika hidup, dan hidup itu perjuangan, tindakan dan perbuatan. Pengalaman sebagai kunci terhadap segala yang ada, menjadi piranti untuk mengetahui realita. Sementara memandang pengetahuan sebagai kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan, proses kebiasaan yang dihimpun dari proses inderawi dan pengalaman, yang siap untuk digunakan. Adapun kebenaran merupakan hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu yang mungkin keadaannya kacau. Sedangkan nilai bagi paham ini dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan. Nilai bersifat dinamis, nilai terus berubah dan berkembang.
Progresivisme memandang manusia memiliki kemampuan-kemampuan yang wajar, dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri. Sedang tugas utama pendidikan: mempertinggi kecerdasan, kecerdasan memiliki peran utama dan menentukan perkembangan anak didik. Adapun belajar dimaknai anak didik memiliki akal dan kecerdasan sebagai potensi kelebihan. Anak didik dapat menghayati belajar yang edukatif dan bukan yang misedukatif. Anak didik aktif dan tidak pasif. Sedang guru hanyalah sebagai penasehat, paemandu dan pengarah. Sementara mengenai kurikulum, kurikulum “berpusat pada pengalaman”, bersifat ekperimental, isinya harus berfungsi sebagai pengalaman yang edukatif. Sikap yang dimilikinya berazazkan fleksibilitas dan dinamis dalam memandang segala sesuatu yang ada. Sekolah dalam pandangan paham yang bersifat evolusi ini sekolah merupakan sebuah dunia kecil masyarakat besar, dan atmosfer sosial sekolahnya harus kooperatif dan demokratis.
6. Esensialisme
Esensealisme memandang realita, dunia dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Sedang pengetahuan berdasar kualitas dirinya (yang sadar akan realitas sebagai mikrokosmos dan makrokosmos) manusia memproduksi pengetahuannya. Adapun nilai memiliki pembawaan atas dasar komposisi yang ada; Nilai tergantung dari apa atau bagaimana keadaan subyek. Sementara pandangan paham yang sifatnya konservatif ini pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kesetabilan (nilai2 kebudayaan dan filsafat zaman Renaisans). Pendidikan merupakan proses reproduksi dari apa yang terdapat dalam kehidupan sosial. Tujuan pendidikan adalah meneruskan warisan budaya dan sejarah serta mempersiapkan manusia untuk hidup. Tugas pertama sekolah adalah mengajarkan pengetahuan dasariah. Mengenai belajar sebagai aktifitas menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi, serta diteruskan kepada angkatan berikutnya. Untuk guru dianggap orang yang menguasai subyek khusus, dan merupakan contoh model yang harus dgugu dan ditiru. Sedang kurikulum, kurikilum berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat; dan kurikulum bersumber pada intelek, emosi dan kemauan sehingga kurikulum mencakup tiga domain, domain kognitif, domain afektif dan domain psikomotorik.
7. Perenialisme
Perenialisme memandang realita tertinggi berada di balik alam, bersifat penuh kedamaian. Realita yang ada merupakan kombinasi potensi dan bentuk, yang datang bersama untuk adanya. Pengertian-pengertian sesuatu yang ada dalam realita memiliki perbedaan dalam aspek-aspek aktualisasinya. Menurut paham ini untuk pengetahuan bersifat analitis empiris, diperoleh dengan metode induktif, dan kebenarannya relatif dan terbatas. Kebenaran sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikiran dengan benda/hal. Sementara tentang nilai berdasarkan azas supernatural, menerima universal yang Abadi. Tuhan adalah sumber nilai; nilai bersifat teologis. Oleh karenanya pendidikan harus menyesuaikan individu dengan kebenaran, bukan menyesuaikan individu dengan dunia. Pendidikan bukan peniruan dari hidup melainkan suatu persiapan untuk hidup. Tujuan pendidikan yaitu mengembangkan akal budinya dan mewujudkan anak dapat hidup bahagia demi kebaikaan hidupnya sendiri. Dan tugas utama pendidikan mempersiapkan ke arah kematangan (akal), untuk menyerap dan memahami kebenaran-kebenaran abadi dan esensial. Sedang sekolah sebagai tempatnya dengan memberikan pengetahuan. Tugas utama guru memberikan pendidikan dan pengajaran, dan keberhasilan anak (segi akalnya) tergantung pada guru, dan guru harus mampu mengatasi gangguan dengan pendekatan intelektual yang sama bagi semua peserta didik. Tuhan menjadi titik sentral dan nilai-nilai ketuhanan sebagai kebenaran menjadi dasar dalam proses pendidikan. Perenialisme paham yang bersifat regresif memandang manusia adalah hewan rasional. Hakikat watak dasar manusia secara universal tidak berubah, untuk itu pendidikan harus sama untuk setiap orang, dan pengalaman pendidikan merupakan persiapan untuk hidup. Karya besar masa lampau sebagai gudang pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah teruji waktu dan relevan dengan masa kini. Dengan kata lain pendidikan masa kini harus merujuk pada masa lampau yang telah teruji oleh waktu.
8. Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme, salah satu paham yang memandang realita sesuatu yang bersifat universal, ada di mana-mana, alam ini mengandung hakikat materi dan rohani, yang berdiri sendiri-sendiri, azali dan abadi. Sedang mengenai pengetahuan, pengetahuan itu dihasilkan melalui rasio dan pengalaman. Adapun tentang bukti kebenaran ada pada diri sendiri, realita dan keberadaannya. Untuk masalah nilai berdasar azas supernatural (menerima natural yang universal, yang abadi, berdasar prinsip-prinsip teologis). Rekonstruksionisme memandang sekolah sebagai agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial, sumber inovasi sosial. Metode-metode pengajarannya harus didasarkan pada prinsip demokrasi yang bertumpu pada kecerdasan azali. Sedang untuk landasan kurikulumnya pada ilmu-ilmu sosial. Rekonstruksi paham yang sifatnya radikal ini ingin membangun kembali pendidikan yang medasarkan prinsip-prinsip keabadian atau keilahian, hal ini dkarenakan masyarakat dunia dalam kondisi yang sakit kritis dan bila tidak segera diubah secara mendasar peradaban dunia akan mengalami kehancuran. Dan pendidikan formal menjadi agen dalam rekonstruksi tatanan yang mendunia, sehingga peradaban dunia akan selamat dan terus eksis.
9. Eksistensialisme
Eksistensialisme berpandangan bahwa realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus melihat apa yang ada dalam diri kita sendiri. Pengetahuan tergantung pada pemahaman dan interpretasi manusia terhadap realitas. Untuk nilai, manusia memiliki kebebasan untuk memilih. Eksistensialisme sebagai paham yang bersifat liberal, memandang individu sebagai makhluk unik dan bertanggung jawab atas keunikannya. Pendidikan hanya dilakukan manusia, dan memiliki tujuan mendorong individu mampu mengembangkan semua potensi untuk pemenuhan diri. Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan. Adapun proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan – ”Dialog”. Dan metode yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan karakter yang baik. Mengenai kurikulum, kuruklum yang memberikan para peserta didik kebebasan individual yang luas. Begitu pula guru harus memberi kebebasan peserta didik memilih dan memberi pengalaman yang akan menemukan makna dari kehidupan mereka sendiri, namun guru pun harus mampu membimbing dan mengarahkan peserta didik dengan seksama.
10. Konstruktivisme
Von Glaserfeld menuturkan, Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Suparno, 2012:18). Sementara menurut Doolitle dan Camp (1999) inti dari konstruktivisme adalah aktif memahami dan membangun pengetahuan sendiri berdasar pengalamannya. Fosnot menyatakan konsep bahwa peserta didik membangun pengetahuan berdasar pengalaman dinamakan konstruktivisme. Pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Kita tidak dapat mengerti realitas (kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh disebut suatu realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu objek. Realitas hanya ada sejauh berhubungan dengan pengamat. Pengetahuan merupakan konstruksi dari kita yang mengetahui, yang sedang belajar. Realitas tidak akan eksis selama berdiri sendiri, realitas akan dipahami ada bila berhubungan dengan pengamat.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah tertentu tetapi merupakan suatu proses menjadi. Letak kebenaran dari pengetahuan dalam riabilitasnya, yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan, semakin luas kebenarannya. Jean Piaget menyatakan bahwa pengetahuan konseptual tidak dapat ditransfer dari seseorang ke orang lainnya, melainkan harus dikonstruksi oleh setiap orang berdasar pengalaman mereka sendiri. Menurut von Glaserfeld, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran orang yang belum punya pengetahuan (peserta didik). Bahkan bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada peserta didik, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh peserta didik sendiri dengan pengalaman mereka (Suparno, 2012:20).
Von Glaserfeld membedakan tiga level konstruktivisme dalam kaitan hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan konstruktivisme yang biasa (Suparno, 2012:25). Konstruktivisme radikal, pengetahuan adalah suatu pengaturan atau organisasi dari suatu obyek yang dibentuk oleh seseorang. Mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Kita hanya tahu apa yang dikonstruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan bukanlah representasi kenyataan. Realisme hipotesis, pengetahuan sebagai suatu hypotesis dari suatu struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju pengetahuan yang sejati yang dekat dengan realitas. Konstruktivisme yang biasa, pengetahuan sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek.
Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain (Suparno, 2012:20). Pembentukan pengetahuan bukanlah memiliki kebebasan tanpa batas melainkan terdapat pembatas yang mebingkai pembentukan pengetahuan tersebut. Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita (Suparno, 2012:22). Belajar: peran peserta didik diutamakan dan keaktifan peserta didik untuk membentuk pengetahuan dinomorsatukan. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada, dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada. Bahan pengajaran perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar. Paham yang memiliki sifat generatif ini memandang manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya. Pengetahuan bukan sesuatu kenyataan ontologis, dan tidak dapat ditransfer, melainkan pemindahan pengetahuan harus dinterpretasikan dan dikonstruksi oleh setiap orang berdasar pengalaman yang dimikili mereka sendiri. Pembentukan pengetahuan pun bukan tanpa batas melainkan memiliki pembatas yang menjadi bingkai pemebentukan pengetahuan.
J. Simpulan
Filsafat Pendidikan adalah ilmu yang mempelajari atau membahas pendidikan secara filosofis. Filsafat dan filsafat pendidikan memiliki hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, filsafat melandasi dan melatarbelakangi lahirnya filsafat pendidikan. Senada juga filsafat dan pendidikan memiliki hubungan yang berkait, filsafat menjadi kerangka dasar yang melandasi praktik pendidikan, dan pendidikan menjadi media aktualisasi konsep-konsep filsafat. Demikian pula filsafat pendidikan dan pendidikan memiliki hubungan timbal-balik yang saling membangun dan menguntungkan untuk kemajuan dunia pendidikan yang terus berkembang pesat; filsafat pendidikan sebagai landasan filosofis, kaidah nilai dan pola pelaksanaan pendidikan, dan pendidikan menjadi bahan pemecahan filsafat pendidikan.
Filsafat pendidikan dalam studinya menggunakan metode: a) metode rasionalistik, b) metode empirik, c) metode intuisi, d) metode reflektif, e) metode historis, dan f) metode analisis sintetis, serta g) hermeneutika. Sedang dalam pendekatannya dengan pendekatan ajaran filsafat dan ajaran pendidikan. Sementara dalam melihat segi keberadaan, proses dan nilai pendidikan dengan melihat aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. Adapun aliran-aliran atau mazhab-mazhab dalam filsafat pendidikan, yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, materialisme, progresivisme, esensialisme, perenialisme, eksistensialisme, rekonstruksionisme, dan konstruktivisme. Aliran-aliran ini memiliki kacamatanya sendiri, kacamata yang berbeda dalam memandang dunia pendidikan.
DAFTAR BACAAN
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arifin, H.M. 2000. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Ankara
Barnadib, Imam. 1986. Filsafat Pendidika, Sutu Tinjauan. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.
Barnadib, Imam. 1987. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.
Djumransyah, M. 2006. Filsafat Pendidikan. Malang: Bayumedia.
Jalaluddin & Abdullah Idi. 2007. Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.
Knight, George R. 2007. Filsafat Pendidikan. Penerjemah Mahmud Arif. Yogyakarta: Gama Media.
Sadullah, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.
Suparno, Paul. 2012. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Selengkapnya...
Tuesday, December 25, 2012
NATAL
Selengkapnya...
Wednesday, July 25, 2012
KATA KATA BIJAK
Selengkapnya...
Sunday, July 15, 2012
Saturday, July 7, 2012
FILSAFAT ILMU
Rosichin M.
Filsafat Ilmu, filfasat yang kini menjadi sentral pencarian para pencari ilmu guna penyelesaian masalah dalam dunia ilmu khususnya hakekat ilmu. Ilmu tak mampu menemukan kebenaran ilmu yang hakiki atau hakekat ilmu.
Selengkapnya...