Rosichin M.
Suatu kata/teks tak terlepas dari makna. Kata cendekia pun tak terlepas dari makna. Satu kata/teks bisa jadi memiliki 1001 makna. Lebih dari itu pada hakikatnya Tuhan sembunyi di balik kata/teks. Tulisan ini Suatu Pengantar Populer Pembelajaran Bahasa dan Sastra Media Membentuk Insan Cendekia
A. Pendahulu
Insan cendekia, suatu makom kehidupan manusia. Untuk meraihnya tidaklah mudah, harus melewati jalan terjal berliku, naik turun, dan duri-duri pun menghadang kuat sekuat tembok cina. Kadang harus berhenti sejenak tatkala menemui persimpangan jalan, kemana arah harus melangkah, salah arah melangkah hanya kehampaan yang akan diraihnya. Begitu sulit menggaipainya sesulit menggapai matahari ketika makom insan cendikia hanya sebuah konsep yang ada di dunia maya atau ide yang masih tersimpan di almari laughmahfudz. Untuk itulah kiranya perlu ada kriteria atau parameter yang jelas tentang insan cendekia, yang dapat menjadi arahan setiap insan guna menggapai makom. Sepanjang belum ada kriteria konkrit, mimpi menggapainya menjadi bunga yang terus mekar dan tak pernah layu, insan cendekia hanya sebuah deretan kata-kata.tanpa makna.
F. de Saussure mengatakan bahwa kata adalah bunyi atau coretan ditambah suatu makna. Makna tidak dapat dilepaskan dari kata (Bertens, 1996:180). Merujuk pada pemikiran Saussure, kata insan cendekia bukan sekedar deretan kata-kata tanpa makna tapi kata-kata yang memiliki makna; dan pada hakikatnya Tuhan sembunyi di balik kata (teks). Jika maknanya belum terkuak, belum keluar dari gua persembunyiannya maka perlu dikorek atau digali sedalam mungkin dengan penuh kesungguhan, sampai menemukan gambaran warna warni makna-makna yang tersembunyi. Gambaran makna yang warna warni itu pada gilirannya dianalisis dan direduksi menjadi kriteria potret insan cendekia. Teropong sederhana untuk melihat potret insan cendekia (= cendekiawan) telah lama terpajang di lembaran Kamus Besar Bahasa Indenesia, Cendekiawan yaitu 1. orang cerdik pandai; orang intelek; 2. orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu (Depdikbud, 1989:161). Berangkat dari arti kamus di atas dan sepakat diangkat menjadi kriteria, kiranya bukan lagi sebuah mimpi, makom insan cendikia bisa digapai, digapai lewat suatu proses dan piranti.
Piranti dan proses diperlukan insan untuk mencapai tujuan. Tuhan pun memerlukan suatu proses dalam menurunkan firman-firman (tertentu). FirmanNya diturunkan untuk hambaNya dengan kemasan bahasa dan atau kata-kata yang memiliki nilai estetika di luar batas kreativitas sastrawi insani. Malaikat Jibril menjadi jembatan penghubung dalam menurunkan firmanNya pada utusanNya agar bisa diterima, dipahami lantaran dimensiNya berbeda dengan dimensi manusia. Selain itu Jibril sang penabuh awal genderang Iqra untuk mencerdaskan manusia yang berkebudayaan dan berperadaban dengan bingkai keilahian, serta hijrah dari kegelapan menuju sinar terang. Hal di atas kiranya dapat menjadi suatu pelajaran amat berharga bagi setiap insan dalam mengarungi hidup, dan menjadi cermin elok untuk pelaksanaan pendidikan / pembelajaran.
B. Konstruktivisme sebuah Model
Kontruktivisme suatu aliran filsafat yang dipinjam dunia pendidikan, yang kini benderanya berkibar di sudut-sudut sekolah mengusung model pendidikan / pembelajaran. Pengetahuan yang diperoleh seseorang itu hasil konstruksi sendiri menjadi salah satu latar depan kelahiran model pendidikan / pembelajaran konstruktivisme, Konstrktivisme menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang kepada orang lain bahkan secara prinsipiil. Tidak mungkinlah menstranfer pengetahuan karena setiap orang membangun pengetahuan pada dirinya. Pengetahuan bukanlah sutu barang yang dapat ditranfer begitu saja dari pikiran yang mempunyai pengetahuan ke pemikiran orang lain yang belum mempunyai pengetahuan. Bahkan bila seorang guru bermaksud menstranfer konsep, ide, dan pengertiannya kepada seorang murid, pemindahan itu harus diinterpretasi kan dan dikonstruksikan oleh si murid lewat pengalamannya (Suparno, 2008:20). Tranfer pengetahuan tidaklah akan terjadi lantaran pengetahuan itu dikontruksi oleh diri sendiri. Interpretasi menjadi termin yang harus dilalui lebih dulu dengan diramu pengalaman untuk memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan.
Bendera pemodelan pendidikan/pembelajaran kontruktivisme terus berkibar seperti berkibarnya bendera-bendera partai politik yang berkibar di sudut-sudut kota menyuarakan visi dan misinya untuk menarik simpatik. Model pendidikan/ pembelajaran Konstruktivisme yang mengusung keaktifan murid dan mengontruksi sendiri pengetahuan, kiranya relevan untuk berkibar di sebuah ruang pembelajaran bahasa dan sastra guna melahirkan insan yang aktif dan kreatif membentuk pengetahuan sendiri dan mengembangkannya. Sehingga dapat memotivasi insan-insan yang bergelut di ruang bahasa, khususnya ruang sastra yang sedang lesu darah. Menurut Julius Felicianus, Direktur Galang Press, kelesuan sastra Indonesia bukan bersumber hanya dari masalah ketiadaan penulis sastra atau kurangnya minat baca semata, tetapi juga terpengaruh oleh situasi politik, ekonomi dan sosial di Indonesia (Andriana, 2008:2). Kelesuan sastra Indonesia bukan saja disebabkan faktor-faktor sebagaimana yang dikatakan Julius, tetapi bisa jadi belum sampainya sentuhan di batas keefektivan dan kemenarikan dalam proses pembelajaran sastra dan bahasa, sehingga tidak memacu untuk lahirnya pemikiran kritis yang dapat memunculkan wacana-wacana baru dalam ruang bahasa dan sastra, dan kreatiftas yang melahirkan karya-karya sastra yang baru dan berbobot. Tampaknya model pendidikan/pembelajaran kontruktivisme menjadi obat penghilang lesu darah bahasa dan sastra yang berdosis pas.
Model pembelajaran kontruktivisme bukan saja menjadi obat penghilang lesu darah, tetapi juga dapat menjadi piranti dalam membentuk insan cendekia lantaran pembelajarannya membawa anak didik aktif, kritis dan mengonstruksi sendiri pengetahuannya. Menurut kontrukrivisme, belajar merupakan prsoses mengontruksi arti entah teks, dialog, pengetahuan fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan (Suparno, 2008: 61). Sehingga dengan model pembelajaran konstruktivisme anak didik akan terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui dan memahami teks-teks yang ada serta mengonstruk pengetahuan.
C. Bahasa dan Sastra suatu Teks
Bahasa seringkali disebut sebagai alat komunikasi, tapi juga sebagai alat berbicara kepada diri sendiri dan orang lain, serta merupakan alat berbicara ihwal masa silam, kini, dan masa depan,.dan berpikir pun melalui bahasa (Alwasilah, 2008:146). Belajar bahasa menjadi sesuatu yang penting lantaran merupakan alat komunikasi, berbicara, dan mengatakan pikiran, lebih dari itu bahasa itu alat mengekspresikan perarasaan. Pendidikan bahasa pun perlu mengajarkan berpikir kritis agar tidak terjadi bias dalam mengatakan pikiran, dan dapat menganalisis atau menafsirkan teks-teks yang pada gilirannya melahirkan karya-karya yang memperkaya khasanah kebahasaan. Kekeliruan dalam pembelajaran bahasa yang mungkin pernah terjadi sebagai luka lama tak perlu dibuka kembali. Menurut Alwasilah: kekeliruan selama ini adalah terlampau berkonsentrasi pada pengajaran empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) yang tercerabut dari fungsi bahasa sebagai alat berfikir. Seyogyanya pendidikan bahasa diniati sebagai upaya pembangunan literasi kritis, yang mencakup sikap dan keterampilan kritis dan analitis yang diperlukan untuk memahami dan menginterpretasi teks-teks (Alwasilah, 2008:148-149). Jatuh dua kali dilubang yang sama menjadi tanda kekeliruan atau kebodohon masih berdiri dalam kerangkeng bahasa, pendidikan berpikir kritis belum mampu menggeser posisi apalagi mengeluarkan dari kungkungan bahasa. .
Berpikir kritis sangat diperlukan untuk dapat memaknai atau menafsiri teks-teks (dalam arti luas), termasuk sastra sebagai teks. Sastra diidentikan dengan karya imajinatif yang lekat dengan kata-kata indah. Namun belum cukup suatu karya sastra yang hanya berdasar nilai estetika akan dapat membentuk insan cendekia, lebih dari tampaknya perlu nilai etika religi (kemanusiaan). Dalam konteks nilai, sepanjang karya sastra nihil dari nilai kemanusiaan, karya sastra itu kering lantaran tidak memiliki dampak positif untuk kehidupan manusia padahal suatu karya sastra diperuntukan manusia yang berdiri, berlari dan menari di atas bumi, untuk bisa manusia kedepannya lebih berbudaya dan beradab, bukan untuk para bidadari di kayangan atau malaikat penjaga sorga dan neraka. Bila manusia telah lebih berbudaya dan beradab, serta memahami benar dirinya lewat teks-teks yang ada, manusia akan meamhami Tuhan ada di balik kata (teks), Tuhan Maha Indah.
Kutahu setan mengintip di sudut sana, kan menjebakku malu, kutak perlu lagi panjangkan kata, cukup berhenti di sini. Wassalam.
DAFTAR PUSTAKA
Andriana, Maria D. 2008. Kebangkitan Sastra Perlu untuk Lembutkan Budi Pekerti. http://www.antara.co.id/arc/2008/10/29/kebangkitan-sastra-perlu-untuk-lembutkan-budi-pekerti/ (18 Des 2008 ).
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Bertens, K. 1996. Filsafat Barat Abad XX Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai pustaka.
Suparno, Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Selengkapnya...